PINUSI.COM - Generasi Z dan milenial menghadapi risiko finansial yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah fenomena "doom spending" atau pengeluaran yang tidak terkendali. Menurut Psychology Today, doom spending terjadi ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir panjang, sering kali sebagai pelarian dari stres atau kekhawatiran terkait situasi ekonomi dan masa depan.
Doom spending berbeda dengan "retail therapy," yang umumnya disebabkan oleh masalah pribadi seperti cinta, karier, atau keluarga. Tren doom spending lebih sering dipicu oleh faktor eksternal seperti ketidakpastian ekonomi global dan ketimpangan kekayaan yang terus meningkat. Keadaan ini semakin diperparah oleh mudahnya akses informasi tentang krisis ekonomi, perang, dan masalah lingkungan melalui ponsel pintar.
Apa Itu Doom Spending?
Baca Juga: KKP RI Kebut Pembangunan Pabrik HPI Berikutnya
Mengutip Bloomberg, doom spending adalah aktivitas konsumsi yang dilakukan untuk meredakan stres yang muncul akibat kekhawatiran ekonomi global dan ketidakstabilan geopolitik. Ylva Baeckström, seorang dosen senior keuangan di King's Business School, menyebut doom spending sebagai kebiasaan fatalistis yang berbahaya. Menurutnya, anak-anak muda cenderung menerjemahkan perasaan negatif mereka menjadi perilaku belanja yang merugikan.
Baeckström memperkirakan bahwa kebiasaan ini akan membuat generasi Z dan milenial berada dalam situasi finansial yang lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya. Prediksi tersebut diperkuat oleh hasil survei CNBC dan Survey Monkey yang menunjukkan hanya 36,5 persen orang dewasa yang merasa lebih baik secara finansial dibandingkan orang tua mereka, sementara 42,8 persen lainnya merasa lebih buruk.
Faktor Pendukung Doom Spending
Baca Juga: Makna Lagu "Satu Bulan" Karya Bernadya, Romansa Wisata Masa Lalu
Kemudahan akses layanan pembayaran seperti 'Buy Now, Pay Later (BNPL)' juga berperan dalam meningkatkan perilaku belanja impulsif di kalangan generasi muda. Sebuah survei dari Intuit Credit Karma pada November 2023 menyatakan bahwa 96 persen warga Amerika khawatir tentang keadaan ekonomi, dengan lebih dari seperempat dari mereka menghabiskan uang untuk mengatasi stres tersebut.
Di Indonesia, data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada Agustus 2023, nilai penyaluran pinjaman online (fintech lending) mencapai Rp20,53 triliun. Dari angka tersebut, 60 persen penggunanya adalah generasi milenial dan Z yang berusia 19 hingga 34 tahun. Tingginya angka ini menggarisbawahi risiko yang dihadapi generasi muda untuk jatuh ke dalam jerat hutang.
Dengan adopsi pola pikir "You Only Live Once" (YOLO), banyak generasi muda yang memilih menghabiskan uang untuk barang-barang mewah, meski situasi ekonomi tidak menentu. Fenomena ini menambah tekanan ekonomi dan meningkatkan risiko mereka menghadapi masalah finansial yang lebih besar di masa depan. (*)