Berburu harta Cendana berlanjut di bawah kepemimpinan Jokowi, sederet aset keluarga Cendana telah negara rebut kembali
PINUSI.COM – Berburu harta Cendana (keluarga Presiden Soeharto), gencar negara lakukan beberapa tahun belakangan ini. Yang terbaru negara baru saja sukses mengembalikan asetnya, yakni ambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita, bentukan Presiden Soeharto.
Setelah lebih dari 4 dekade TMII dikelola oleh Yayasan Harapan Kita—dan juga keluarga Cendana—Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Taman Mini Indonesia Indah atau TMII. Dengan demikian pengelolaannya kini diambil alih pemerintah di bawah Kementerian Sekretaris Negara.
Dalam jumpa pers di perpustakaan TMII, Jakarta Timur pada Minggu (11/4/2021) Tria Sasangka Putra, Sekretaris Yayasan Harapan Kita, menyatakan siap berkooperatif dengan pemerintah dalam proses trnasisi pengambilalihan pengelolaan TMII.
Yayasan, sambung dia, memandang langkah ini sebagai bentuk penugasan dari negara. Dan sudah menjadi visi misi yang diamanatkan oleh keluarga almarhun Presiden Soeharto untuk senantiasa mengabdi kepada negara.
"Kami menghormati terbitnya peraturan presiden Nomor 19 Tahun 2021 sebagai suatu produk hukum peraturan perundang-undangan negara dan tentunya akan bersikap kooperatif sesuai kemampuan yang ada pada kami untuk menerima dengan tangan terbuka pelaksanaan amanat peraturan presiden ini demi menuntaskan proses transisi yang akan dilaksanakan bersama-sama," katanya.
Dalam kesempatan ini, Tria juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pengelola TMII. Karena Jerih payah selama 44 tahun mengelola TMII secara mandiri, baik itu mengenai perbaikan, pembangunan fasilitas baru, perawatan, hingga pelestarian TMII. Dan semuanya itu, sambung dia, tidak pernah menggunakan anggaran negara.
Lebih lanjut, Tria juga mengungkapkan bahwa selama ini Yayasan Harapan Kita juga taat membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) TMII, meskipun berdasarkan peraturan yang ada, barang milik negara tidak diwajibkan membayar pajak tersebut.
"Yayasan Harapan Kita sebagai penerima tugas negara tidak pernah mengajukan atau meminta kebutuhan anggaran dari pengelolaan TMII kepada negara atau pemerintah sesuai amanat Keppres No 51 Tahun 1977. Tentunya tidak selamanya pemasukan yang diperoleh badan pelaksana pengelola TMII dapat mencukupi kebutuhan operasional TMII ini," tuturnya.
Pernyataan dari pihak Yayasan Harapan Kita merupakan bentuk respons atas tindakan pemerintah yang telah membentuk tim transisi pengelolaan TMII. Mensesneg Pratikno, Seskab Pramono Anung, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjadi pengarah.
"Di situ ada tim pengarah. Pertama ada Mensesneg, Mensekab, KSP. Selanjutnya ada tim ketuanya Sekretaris Mensesneg. Berikutnya tim asistensi ada BPKP, DJKM ada Kapolda Metro, Pangdam Jaya," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (9/4/2021) kemarin.
Sekretaris Kemensetneg, Setya Utama, ditunjuk menjadi ketua tim transisi TMII. Tim diberi waktu tiga bulan untuk bekerja menyelesaikan pengelolaan TMII. Berikut daftar tim transisi TMII:
1. Pengarah
- Menteri Sekretaris Negara
- Sekretaris Kabinet
- Kepala Staf Kepresidenan
2. Ketua
- Sekretaris Kemensetneg
3. Anggota:
- Sekretaris Militer Presiden Kemensetneg
- Deputi Bidang Perundang-undangan dan Administrasi Hukum Kemensetneg
- Staf Ahli Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan Kemensetneg
- Staf Ahli BIdang Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Kemenpan-RB
- Staf Ahli Bidang Komunikasi Politik dan Kehumasan Kemensetneg
- Kepala Biro Umum Sekretaris Militer Presiden Kemensetneg
- Inspektur Kemensetneg
- Direktur Barang Milik Negara Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu
- Asisten Deputi Bidang Kawasan, Logistik dan Pariwisata Kementerian BUMN
Sebelumnya, pemerintahan Jokowi juga sempat menyita aset milik keluarga Cendana yang lainnya, yakni Yayasan Supersemar. Penyitaan ini adalah penantian panjang negara mendapatkan kembali asetnya selama 11 tahun.
Merangkum dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan, dari Rp 4,4 triliun yang harus dibayarkan oleh Yayasan Supersemar kepada negara, baru sebanyak Rp 243 miliar aset yang berhasil disita oleh negara.
Kasus bermula saat Presiden Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar pada 16 Mei 1974. Tujuannya untuk membantu pendidikan Indonesia. Namun dalam perjalanannya, dana yang terkumpul bukannya untuk beasiswa, pembangunan gedung sekolah, kampus dkk, tapi malah diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana dan kroni-kroninya. Berikut rinciannya:
1. PT Bank Duta USD 125 juta.
2. PT Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
3. PT Bank Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
4. Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997.
5. Diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995.
6. Diberikan kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993.
7. Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.
Pasca lengsernya era kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1998, uang yang terkumpul itu mulai dibidik sebagai bagian amanat reformasi. Hingga pada 2007, Negara menggugat Yayasan Supersemar untuk mengembalikan dana yang diselewengkan.
Gayung bersambut. Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara. Vonis itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.
Setahun setelahnya, hakim agung Arifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto menguatkan vonis itu. Sayang, ada salah ketik di amar sehingga tak bisa dieksekusi. Jaksa Agung pun mengajukan PK atas kesalahan ketik itu. Pada Agustus 2015, MA memperbaiki salah ketik itu.
"Menghukum Tergugat II (Yayasan Supersemar) untuk membayar kepada Penggugat (Republik Indonesia) sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $ 315.002.183,00 dan 75 persen x Rp 185.918.048.904,75 = Rp139.438.536.678,56," putus ketua majelis Suwardi dengan anggota Mahdi Soroinda Nasution dan Sultoni Mohdally.
Yayasan Supersemar pun mengajukan perlawanan eksekusi pada 2016. Pada 29 Juni 2016, PN Jaksel mengabulkan perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar sudah menyalurkan dana pendidikan ke yang berhak.
Tapi pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar itu. Menurut MA, perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar nebis in idem. "Sehingga putusan perkara a quo nebis ini idem," ujar majelis dengan suara bulat.
Mengantongi putusan itu, Jaksa Agung mengajukan permohonan eksekusi. Perlahan, uang negara yang diselewengkan yayasan bisa diambil kembali. Salah satu aset Yayasan Supersemar yang disita negara adalah tanah dan Gedung Granadi. "Sudah lama (disita)," kata pejabat Humas PN Jaksel Achmad Guntur Senin 19 November 2018.
Selain gedung Granadi, yang terletak di Jl HR Rasuna Said, sejumlah aset lainnya disita terkait kasus Yayasan Supersemar, di antaranya tanah di Megamendung, Kampung Citalingkup, Bogor, seluas 8.120 meter persegi. "Ada tanah di Megamendung dan rekening sama uangnya," sambung Guntur.
Kuasa hukum Keluarga Cendana, Erwin Kallo, angkat bicara perihal Gedung Granadi yang disita PN Jakarta Selatan. Dia mengungkapkan pemilik gedung itu bukan Keluarga Cendana saja, dan bukan milik Yayasan Supersemar.
"Seharusnya dia (PN Jakarta Selatan) cari tahu gedung itu pemiliknya berapa orang dan siapa saja. Kalau ada orang lain di dalamnya, bagaimana bisa disita seluruh gedungnya? Kecuali kepemilikan yang tergugat 100 persen," ujar Erwin saat dihubungi, Senin, 19 November 2018.
Sedangkan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto menduga penyitaan gedung Granadi di Kuningan, Jaksel, berkaitan dengan dirinya yang vokal terhadap pemerintah. "Granadi itu ya, setiap kali saya bicara vokal ke pemerintah, selalu ada yang angkat mengenai penyitaan Granadi. Padahal ini cerita yang sudah beberapa bulan yang lalu," ujar Titiek di Istora Senayan, Jakarta, Kamis 22 November 2018.