search:
|
Aktual

PTM Terbatas Jangan Sampai Jadi Bumerang Pemerintah

Jumat, 02 Apr 2021 23:09 WIB
PTM Terbatas Jangan Sampai Jadi Bumerang Pemerintah

PTM Terbatas boleh-boleh saja pemerintah berlakukan. Ada baiknya, program vaksinasi merata guru juga targetkan pelajar.

PINUSI.COM – PTM Terbatas atau pembelajaran tatap muka terbatas bakal resmi terlaksana pada bulan Juli 2021 mendatang. Menggeser sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berlaku setahun terakhir karena terpaan pandemi Covid-19. Program vaksinasi guru dan tenaga pendidik yang nyaris tuntas, turut memotivasi diambilnya keputusan ini.

Pengambilan keputusan PTM Terbatas ini, dilakukan secara bersama-sama, dengan melibatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag), Menteri Kesehatan (Menkes) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Yang dikukuhkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri.

Dalam jumpa pers bertajuk Pengumuman Keputusan Bersama tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19, Mendikbud Nadiem Makarim sempat menyinggung soal program vaksinasi.

Pada jumpa pers virtual yang disiarkan kanal Youtube Kemendikbud, Selasa (30/3/2021) kemarin, Nadiem kembali mengingatkan tentang target pemerintah memvaksinasi 5 juta guru dan tenaga pendidik, yang rencananya akan rampung akhir Juni 2021. Menurut dia, proses belajar di sekolah akan terlaksana semakin baik jika target vaksinasi guru tercapai.

PTM Terbatas

Terkait dengan itu, Nadiem menuturkan, guru dan tenaga kependidikan di sekolah yang sudah melaksanakan vaksinasi Covid-19 wajib untuk membuka belajar tatap muka di sekolah, sesuai dengan apa yang pemerintah canangkan.

“Maksud dari target itu adalah agar semua sekolah siap untuk melakukan tatap muka terbatas. Dan kita mewajibkan bila guru dan tenaga kependidikan di setiap sekolah sudah melakukan vaksinasi Covid-19, untuk membuka belajar tatap muka di sekolah," kata Nadiem

Lebih lanjut dijelaskannya, pandemi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini telah memaksa sektor pendidikan beralih ke sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai alternatif. Namun langkah ini malah berdampak buruk.

Nadiem menjelaskan, dampaknya bukan sebatas hasil pembelajaran yang kurang maksimal, namun ada juga dampak-dampak buruk lainnya. Berikut rinciannya:

Risiko Putus Sekolah
Kondisi terkini menyebutkan, banyak anak yang terpaksa harus ikut bekerja demi membantu keuangan keluarga yang terhimpit pandemi Covid-19.

Peran Sekolah Hilang
Banyak orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam metode PJJ. Mayoritas orang tua masih berpandangan bahwa kegiatan belajar mengajar mutlak harus melalui proses pembelajaran tatap muka.

Kesenjangan Capaian Belajar
Perbedaan akses dan kualitas pada proses pembelajaran jarak jauh dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda.

Tatap Muka Jauh Unggul
Sebuah studi menunjukkan bahwa pembelajaran tatap muka mampu menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan dengan PJJ.

Ancaman Kekerasan & Perkawinan Anak
Tanpa adanya peran sekolah, banyak anak yang berpotensi terjebak dalam tindak kekerasan rumah, tanpa terdeteksi oleh guru. Selain itu terdapat juga peningkatan risiko pernikahan dini, eksploitasi anak perempuan dan kehamilan remaja.

Soal bagaimana pelaksanaan PTM Terbatas, Nadiem menegaskan, semua kondisi harus diawasi, mulai dari jaga jarak, kapasitas dan membuat jadwal rombongan belajar, khususnya pada periode 2 bulan pertama diberlakukannya PTM Terbatas.

Menurutnya, pada jenjang SMA, SMK, MA, MAK, SMP, MTs, SD, MI dan program kesetaraan, harus menjaga jarak 1,5 meter dan setiap kelas diisi maksimal 18 orang peserta didik. Selanjutnya, untuk SDLB, SMPLB, MTsLB, SMLB, dan MALB juga diimbau menjaga jarak minimal 1,5 meter dan setiap kelasnya diisi maksimal 5 orang. Aturan yang sama juga berlaku bagi sekolah di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Sedangkan mengenai jumlah hari dan jam belajar serta pembagian rombongan belajar, ditentukan oleh satuan pendidikan dan wajib utamakan kesehatan warga satuan pendidikan. Sekolah dibebaskan untuk memilih, opsinya ialah, melakukan tatap muka 2 kali dalam seminggu lalu jumlah peserta didik dibagi menjadi 3 atau 2 rombongan belajar.

Sementara, prilaku-prilaku apa saja yang wajib ditaati selama di sekolah, adalah:

  • Menggunakan masker 3 lapis, masker sekali pakai, atau masker bedah, yang menutupi hidung, mulut sampai dagu. Masker kain diganti setiap 4 jam atau sebelum 4 jam, jika sudah lembab atau basah.
  • Wajib cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau cairan pembersih tangan (hand sanitizer).
  • Menjaga jarak minimal 1,5 meter dan tidak melakukan kontak fisik seperti bersalaman atau cium tangan.
  • Menerapkan etika batuk/bersin.

Nadiem juga mengungkapkan, terdapat sejumlah larangan selama penerapan PTM Terbatas, yakni kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler. Selain itu, sambung Nadiem, mengatakan kantin juga tidak diperbolehkan untuk dibuka. Dia bilang, larangan ini hanya berlaku sementara dan bisa berubah, tergantung hasil evaluasi lanjutan.

Akan tetapi, tutur Nadiem, beberapa kegiatan di luar lingkungan sekolah, masih diperbolehkan. Contohnya, kegiatan guru kunjung ke rumah murid, harus dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

"Tidak ada olahraga dan ekstrakurikuler, kegiatan lain selain pembelajaran tidak diperkenankan. Hal ini untuk masa transisi dua bulan pertama itu pada saat memulai tatap muka. Tapi kegiatan pembelajaran di luar lingkungan, ada yang diperbolehkan dan tentunya wajib taat protokol kesehatan," papar Nadiem.

PTM Terbatas

Lebih dalam dia menjelaskan, PTM Terbatas adalah upaya pemerintah—melalui mandatnya ke sekolah—memberikan layanan belajar di sekolah, yang artinya berbeda jauh dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah sebelum datangnya pandemi.

"Tatap muka terbatas itu jauh lebih sedikit muridnya di satu tempat, dengan pembatasan jarak yang ketat. Semua harus memakai masker dan tidak boleh ada aktivitas yang menciptakan kerumunan," ujar Nadiem.                                                            

Nadiem juga turut menjelaskan soal langkah-langkah penanganan, apa bila ditemukan kasus positif Covid-19 di lingkungan sekolah. Jika hal tersebut terjadi, Nadiem memastikan pemerintah akan menindaknya dengan cepat dan tegas.

Lalu, lanjut Nadiem, sekolah yang ditutup tersebut akan dipantau secara ketat, hingga dinyatakan nol kasus, baru sekolah tersebut dibuka kembali. “Kalau ada infeksi Covid-19 di sekolah dan tidak ada penutupan, tentu itu adalah hal yang salah. Kalau ada infeksi harus segera ditutup sementara sekolahnya," tandas Nadiem.

Kebijakan PTM Terbatas memang dapat dukungan dan sambutan baik dari banyak pihak, utamanya masyarakat. Namun tak bisa dipungkiri juga, bahwa masih ada terselip rasa khawatir berkenaan pelaksanaannya kelak.

Ani Apriani, seorang guru sekolah swasta di Jakarta Selatan mengaku menyambut baik munculnya kebijakan PTM Terbatas, juga tentang kabar yang menyebut hampir tuntasnya vaksinasi guru dan tenaga pendidik. Namun dia meminta program serupa juga diterapkan kepada seluruh siswa (pelajar) sebagai persiapan memulai kembali kegiatan belajar di sekolah.

“Setuju banget, tapi balik lagi siswanya juga harus dapat vaksin. Kalau cuma guru, ya rada rada percuma sih, walaupun dari data penularan anak anak remaja bisa lebih kebal, tapi soal jaminan keamanan harus tetap jadi nomor 1 di semua sekolah,” ujar dia.

Hal yang sama juga diungkapkan Rizky Malihah, guru di salah satu sekolah negeri. Meski dirinya mengaku mendukung PTM Terbatas, namun Rizky mengingatkan soal tingginya risiko dan tingkat kerentanan terhadap penyebaran Covid-19 di lingkungan sekolah.

PTM Terbatas

“Saya masih belum baca detailnya sih. Murid-murid nanti bakalan divaksin juga atau tidak, Saya belum tahu bagaimana ke depannya. Cuma agak rentan saja kalau nantinya yang divaksin cuma pendidiknya saja, tapi muridnya tidak,” ucap dia khawatir.

Mencuatnya banyak tanya seputar vaksinasi para pelajar, Menkes Budi Gunadi Sadikin pun buka suara. Dia menuturkan bagi pelajar berusia di bawah 16 tahun, besar kemungkinan tidak kena program vaksinasi.

Sebab, jelas Budi, hingga saat ini belum ada uji klinis yang dilakukan berkenaan dengan vaksinasi anak, masih sebatas kajian saja. Dia pun meyakinkan bahwa sangat kecil kemungkinannya pelajar dari kalangan usia tersebut, terpapar Covid-19.

"Jadi sekarang vaksinasi diberikan umumnya diatas usia 16 atau 18 tahun, karena kemungkinan tertular dan fatalitasnya virus Covid-19 di usia muda itu sangat kecil atau hampir tidak ada, jadi toh kalau pun ada akan sembuh dengan sendirinya,” ceplosnya.



Editor: Cipto Aldi

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook