search:
|
PinNews

Sudirman Said: Penyimpangan, Kejahatan, dan Kesewenang-wenangan Hanya Temporer

arie prasetyo/ Sabtu, 09 Mar 2024 21:00 WIB
Sudirman Said: Penyimpangan, Kejahatan, dan Kesewenang-wenangan Hanya Temporer

Sudirman Said menegaskan, kesewenang-wenangan tidak abadi jika merujuk dari perjalanan bangsa ini. Foto: PINUSI.COM/Arie Prasetyo


PINUSI.COM - Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said menegaskan, Pemilu 2024 menghasilkan aset para anak muda kreatif dan berenergi, untuk mendorong negeri ini menuju proses kemajuan (progressing) dan korektif, atas segala bentuk kesewenang-wenangan dan penyelewengan dalam bernegara.

Oleh sebab itu, dia berharap agar para anak muda mampu menjadi perekat kolaborasi antar-generasi dan lintas warna (semua golongan), untuk menjaga demokrasi dalam mewujudkan keadilan bagi rakyat.

"Saya optimistis demokrasi akan terjaga."

"Saya tidak percaya bahwa penyimpangan, kejahatan, dan kesewenang-wenangan akan lestari. Itu hanya temporer."

"Oleh sebab itu, para anak muda perlu bentuk formasi baru untuk perjuangan ke depan," ujar Sudirman dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Gerakan Bersama Indonesia dengan tema Pemilu Buruk, Akankah Masa Depan Generasi Terpuruk? D Kohai Izakaya, Jakarta, Sabtu (9/3/2024).

Selain Sudirman, pembicara dalam diskusi ini adalah JJ Rizal (Sejarawan dari UI), Darmaji Suradika (Tim Muda Paslon 03), Andhyta F Utami (Founder & CEO Think Policy dan Co-Initiator Bijak Memilih), dan dimoderatori oleh aktivis muda Ahmad Jilul Qurani Farid.

Sudirman menjelaskan, kesewenang-wenangan tidak abadi jika merujuk dari perjalanan bangsa ini.

Dari mulai lahirnya gerakan Boedi Oetomo 1908 di masa kolonial Belanda, kemudian Kongres Pemuda 1928.

Dari situ berlanjut gerakan hingga Proklamasi RI 1945. Lalu terjadi gerakan dan perubahan pada 1965, kemudian Reformasi 1998.

"Yang membuat kesewenang-wenangan, kejahatan, dan penyelewengan berhenti ya prinsip kita semua."

"Maka perlu membangun jaringan kekuatan, terutama anak muda, untuk membuat formasi baru bagi perjuangan ke depan," paparnya.

Melihat situasi Pemilu 2024, Sudirman memberikan perumpamaan seorang yang baru mengalami musibah kemalingan, kemudian mengetahui pencurinya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena begitu kuatnya si pencuri.

"Kemudian mandek, tidak berguna kalau melakukan sesuatu," ucapnya.

Oleh sebab itu, Sudirman bersyukur dan bangga munculnya forum diskusi publik yang digelar gerakan Bersama Indonesia, dengan mengundang para anak muda, civil society, hingga akademisi.

"Gerakan seperti ini muncul di mana-mana, artinya sebagai reaksi yang sehat."

"Bahwa kita semua mari move on dan melihat jauh ke depan," imbuhnya.

Dia memahami, tidak sedikit masyarakat yang memiliki harapan tinggi terhadap Pemilu 2024, agar terjadi perubahan fundamental di negeri ini, karena telah merasakan stagnasi dalam kehidupan negara, mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), pelemahan lembaga kontrol, pelemahan KPK, hingga legislatif tidak berfungsi optimal dalam pengawasan.

"Hal ini mengakibatkan negara ini berjalan tanpa rem. Bikin undang-undang 6 hari langsung jadi, tidak ada perlawanan sama sekali."

"Melumpuhkan KPK dalam beberapa minggu selesai, bikin (revisi) UU Minerba cepat selesai. Hingga awalnya kita khawatir UU Pemilu berubah, ternyata kejadian juga," paparnya.

Melihat hal itu, dia memandang etik paling mendasar. Jika etik ditabrak, lanjutnya, semuanya jadi tak terbendung.

"Karena hidup ini paling basic di-drive keserakahan, segalanya boleh, tidak ada peraturan."

"Kemudian, sedikit lebih baik, legalistik. Tapi yang berat adalah kalau top leader berpikir legalistik, maka dia dengan mudah ubah hukum. Ternyata karena etika jebol, UU sudah mapan pun diubah sedemikian rupa," bebernya.

Sudirman mengimbau semua pihak tidak perlu meratapi kejadian-kejadian tersebut.

Pertama, sejarah mencatat bangsa ini memiliki kemampuan perkembangan (progressing) yang baik mulai dari 1908, 1928, 1945, 1965 hingga 1998.

Kedua, bangsa ini memiliki kemampuan koreksi jika terjadi sesuatu yang salah, seperti halnya saat Reformasi 1998.

"Sekarang ini energi sudah ada, tapi beda 1998 dan 1965."

"Waktu itu kelas menengah kuat sekali. Sekarang terlalu banyak middle class dekat pemerintah."

"Selama dua periode berhasil mengondisikan semua. Middle class mulai politisi, pebisnis, kalau tidak dekat kekuasaa,n Anda selesai di tangan yang bukan saja serakah, tapi juga legalistik," cetus Sudirman.

Oleh sebab itu, menurutnya, ke depan para anak muda harus memiliki energi dan kreativitas untuk melakukan perubahan.

Sebab, proses atau progres serta koreksi di negeri ini selalu dimotori dan diwakili para anak muda.

"Pada 1998 anak muda, 1928 anak muda, 1965 anak muda. Pada 1998 juga anak muda," tambahnya.

Dia meminta agar anak muda menjadi hub dari berbagai kelompok yang saling menyemangati, memberikan pendidikan publik, bahkan hingga diskusi tentang pergerakan anak muda.

"Kalau kita mau serius menata ke depan, mau bahu-membahu."

"Saya punya harapan betul kepada anak muda dengan jaringan yang luas, kreativitas luar biasa."

"Oleh sebab itu, energi para anak muda pada 2024 jangan disia-siakan."

"Karena itu, mari konsolidasikan kekuatan, para anak muda agar jadi platform baru, pergerakan, seperti pergerakan pendidikan sipil, pendidikan kepemimpinan publik, yang akan menjawab apa yang kita risaukan," tutur Sudirman. (*)



Editor: Yaspen Martinus
Penulis: arie prasetyo

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook