search:
|
PinNews

Polemik PPDB, JPPI: 161 Ribu Anak Pasti Gagal Masuk Sekolah Negeri

Sabtu, 08 Jun 2024 21:46 WIB
Polemik PPDB, JPPI: 161 Ribu Anak Pasti Gagal Masuk Sekolah Negeri

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji saat menjadi moderator "Musyawarah Warga" di Jakarta, Sabtu (8/6). Foto: Pinusi.com/ Jekson S


PINUSI.COM, JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid Matraji kepada Pinusi.com mengungkapkan sistem Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) menyisakan banyak persoalan.

Salah satunya terkait jumlah anak usia sekolah yang tidak sebanding dengan daya tampung sekolah-sekolah negeri. Hal itu diakibatkan oleh jumlah kursi yang ditawarkan sangat minim, sementara peminatnya terlalu banyak.

"Berdasarkan hitungan kita dari jumlah anak usia sekolah dari SD sampai SMA dibandingkan daya tampung  sekolah yang masuk mekanisme PPDB yang diorganisir Dinas Pendidikan DKI, ternyata hitungannya dari tahun ke tahun itu sama," ujar Ubaid di Jakarta, Sabtu (8/6).

Yang mengkhawatirkan, ungkap Ubaid, sistem penerimaan siswa baru yang diberlakukan oleh Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menerapkan metode yang diistilahkan dengan 'rebutan kursi'.

Di tingkatan SMP dan SMA, ternyata jumlah kursinya sangat minim. Untuk tingkatan SMA, daya tampungnya hanya 35 persen, sementara SMP sebesar 45 persen.

"Itu sebabnya, mayoritas anak pasti gagal masuk ke sekolah negeri. Jadi PPDB itu sistemnya rebutan kursi. Ironisnya, mayoritas malah gagal," paparnya.

Dan tahun ini, berdasarkan hitungan JPPI, anak yang gagal masuk ke sekolah negeri di Jakarta jumlahnya mencapai  161 ribu orang.  

"161 ribu anak yang ikut PPDB pasti gagal," tegasnya.

161 ribu anak bukanlah angka yang sedikit. Karena dalam konteks sebagai pemenuhan hak warga negara, seharusnya tidak boleh ada yang tertinggal.

"No one left behind. Jangan sampai ada satu pun yang ketinggalan," ujar Ubaid.

Ubaid menambahkan, "Ini yang ketinggalan bukan satu, tapi 161 ribu anak. Karena itu, sistem PPDB ini harus diubah. Harus berkeadilan. Harus inklusif untuk semua."

Dengan demikian, menurut Ubaid, berapa pun jumlah anak di Jakarta yang mau sekolah, pemerintah harus menyediakan kursi sejumlah itu. 

"Itu baru berkeadilan," tegasnya.

Hal itu senafas dengan Pasal 31 UUD 1945 yang secara eksplisit mengatur beberapa kewajiban pemerintah terkait pendidikan, di antaranya membiayai pendidikan dasar, mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, hingga memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD.

Pasal 34 ayat (2) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga mensyaratkan hal serupa. Disebutkan tentang wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. 

"Semua anak Indonesia punya hak yang sama dan pemerintah wajib membiayainya atau bebas biaya," ucap Ubaid.

Undang-undang tersebut, kata Ubaid, tidak perlu ditafsirkan lagi, karena kalimatnya sudah sangat jelas. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia, utamanya di jenjang pendidikan dasar yakni SD dan SMP, karena menerapkan wajib belajar 9 tahun maka seharusnya bebas biaya.

Jika merujuk aturan di Jakarta, sejatinya pembangunan sektor pendidikan jauh lebih progresif. Pasalnya, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan mensyaratkan wajib belajar di Jakarta untuk 12 tahun.

"Itu sudah jauh lebih maju dari 9 tahun, yaitu wajib belajar 12 tahun," tegasnya.

Hal itu dimungkinkan karena Jakarta memiliki anggaran besar dalam APBDnya untuk sektor pendidikan. Untuk tahun 2024, anggaran di sektor pendidikan mencapai Rp17,4 triliun. Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, Jakarta merupakan daerah dengan anggaran pendidikan terbesar.

"Tapi pertanyaannya, mengapa hingga tahun 2024, ini peraturan mandul? Tidak diimplementasikan, tidak dibikin sistem bagaimana supaya Jakarta itu sudah melampaui 9 tahun," papar Ubaid.

Faktanya, untuk bisa masuk ke SMP negeri di Jakarta, daya tampungnya kurang dari separuh. "Artinya, punya kebijakan 12 tahun, kok SMP saja nggak beres," katanya.

Jika ditelisik lebih jauh, Ubaid membeberkan, hal itu tidak bisa dipisahkan dari hadirnya Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB).

"Hal itu karena Jakarta mengacu pada kebijakan pusat, yakni Permendikbud 1 tahun 2021 yang mengatur tentang PPDB ini," jelasnya.

Kebijakan pemerintah pusat melalui PPDB secara langsung memunculkan sistem rebutan kursi. Itu sebabnya tidak mengherankan jika Jakarta juga menerapkan sistem serupa.

"DKI Jakarta merasa tidak berdosa karena mengikuti kebijakan pusat," tegas Ubaid.

Karena itu, ungkap Ubaid, yang bermasalah adalah Permendikbud, lalu aturan itu dijadikan acuan bagi seluruh provinsi, dan kabupaten/ kota.

"Jika Permendikbud sistemnya sudah rebutan, sudah tidak berkeadilan, maka seluruh provinsi, kabupaten/ kota kalau mengacu Permendikbud dipastikan tidak berkeadilan," bebernya.

Jika mengacu pada tata acara hukum yang berlaku, Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 seharusnya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU Sisdiknas. Lalu, UU Sisdiknas tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

"Harusnya Permendikbud itu mengatur bagaimana agar pendidikan itu bebas biaya dan bisa diimplementasikan di level provinsi, kabupaten/ kota. Bukan sebaliknya," tegasnya.



Editor: Jekson Simanjuntak

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook