search:
|
PinNews

Lemahnya Ambisi Transisi Energi Berkeadilan di RUU EBET

Senin, 01 Jul 2024 20:00 WIB
Lemahnya Ambisi Transisi Energi Berkeadilan di RUU EBET

Ilustrasi energi baru terbarukan (EBT) dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Foto: Pixabay


PINUSI.COM, JAKARTA - Sejumlah koalisi masyarakat sipil menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) tak memiliki target ambisius untuk mencapai transisi energi berkeadilan.

Tak hanya itu, kondisi serupa juga terjadi di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah selesai diharmonisasi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) pada 4 Juni 2024.

Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani menerangkan dibandingkan dengan peraturan yang sudah ada. Yakni memandatkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025, RPP KEN tersebut justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 19-22 persen pada 2030.

"Apabila ketentuan energi terbarukan RUU EBET merefleksikan target bauran energi terbarukan dalam RPP KEN terkini, transisi ke energi terbarukan dipastikan melambat," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (1/7).

Padahal, kata Verene, rekomendasi global stocktake menegaskan percepatan pengembangan energi terbarukan hingga tiga kali lipat jika ingin selamat dari bencana iklim.

"Studi yang dirilis oleh IESR memperkuat hal ini bahwa untuk mencapai dekarbonisasi menyeluruh di sektor energi, bauran energi terbarukan perlu sudah mencapai 80 persen pada 2040. Sedangkan RPP KEN masih menargetkan jauh di bawahnya yaitu 36-40 persen pada 2040," jelasnya.

Seharusnya, RUU EBET fokus pada akselerasi dan meningkatkan daya saing energi terbarukan. RUU EBET justru masih sarat kepentingan yang mendorong energi pada karbon dan berisiko tinggi seperti gas, nuklir, co-firing, hidrogen, coal bed methane, coal liquefaction, dan coal gasification.

Terlebih, RUU EBET dan RPP KEN justru menargetkan pemanfaatan energi berbasis lahan dalam skala besar di Indonesia.

Plt Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Syaharani mengungkapkan Indonesia masih memiliki beberapa target energi terbarukan yang berbeda-beda.

Khususnya dalam dokumen KEN, Nationally Determined Contribution (NDC), Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR), dan Just Energy Transition Partnership (JETP).

"Hal ini menyebabkan tumpang tindih dalam implementasinya. Selain itu, infrastruktur regulasi dan kebijakan sektor energi belum memberikan ruang dan insentif yang cukup bagi kemudahan pengembangan energi terbarukan," ujarnya.

Karena itu, kata Syaharani, prioritas energi terbarukan dalam RUU EBET dan RPP KEN akan menjadi sinyal kuat untuk mendorong penyelarasan regulasi, kebijakan, dan perencanaan sektor energi untuk memfasilitasi transisi energi terbarukan yang berkeadilan.

Sementara itu, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Hadi Prayitno menerangkan ketentuan terkait energi baru, seperti hidrogen dan nuklir sudah seharusnya dikeluarkan dari RUU EBET dan RPP KEN.

"Baik RUU EBET maupun RPP KEN masih memperbolehkan pengembangan energi fosil selama diikuti dengan teknologi Carbon Capture Strorage (CCS)," ujarnya.

Selain itu, kata Hadi, penambahan porsi gas fosil sebagai bahan bakar transisi energi dalam RPP KEN dinilainya justru menghambat transisi energi.

Sebab, pemberian ruang bagi penggunaan energi fosil akan menyebabkan Indonesia terkunci dengan teknologi tersebut dan semakin mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang.

"Ambisi yang kuat akan memberikan sinyal yang kuat pula dan optimisme pada pengembangan target energi terbarukan," pungkasnya.



Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook