Pradesain Istana Negara memang sarat filosofi, meski dipandang usang dan tidak sesuai dengan era digital
PINUSI.COM – Pradesain Istana Negara Ibukota baru, Kalimantan Timur sedang jadi buah bibir. Kehadirannya diiringi suara merdu dan suara sumbang. Ada yang kagum penuh rasa bangga, ada juga yang suarakan kritik dan cibiran.
Dipilihnya burung Garuda sebagai bentuk dan wujud bangunan, adalah sumber masalah yang mengundang banyak sorotan tajam. Meski sudah menuai polemik, namun tidak melunturkan rasa bangga Presiden Joko Widodo.
Jokowi—sapaan Presiden—pada Sabtu (3/4/2021) melemparkan pujian terhadap karya seniman I Nyoman Nuarta itu, melalui akun Instagram resminya @jokowi. Dalam unggahannya, Jokowi menyebut rancangan Nyoman sudah senada dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Terkait polemik yang sedang menyelubungi pradesain ini, Jokowi kembali menegaskan bahwa pradesain belum dipilih secara resmi sebagai rancangan bangunan, masih merupakan salah satu usulan yang diterima Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), ketika mengundang sejumlah seniman dan arsitek.
"Usulan beliau sarat dengan filosofi lambang Burung Garuda sebagai pemersatu bangsa sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Usulan ini, sekali lagi saya tegaskan, masih pada tahap pradesain,” tulis Jokowi.
Jokowi pun mengharapkan banyak masukan yang datang, karena dia ingin nantinya Istana Negara bisa jadi simbol kebanggaan sekaligus cerminan kemajuan bangsa, bukan semata-mata tempat Presiden bekerja.
Dia menginginkan Istana Negara tidak hanya dikenang sebagai tempat Presiden bekerja atau menjadi simbol kebanggaan bangsa, tapi juga mencerminkan kemajuan bangsa. “Saya akan mengundang kembali para arsitek dan para ahli lainnya untuk melakukan pengkayaan pradesain menjadi basic desain Istana Negara,” tambah Jokowi.
Polemik ini berawal dari tulisan Nyoman di akun Instagram miliknya @nyoman_nuarta, beberapa waktu lalu. Seniman pencipta patung Garuda Wishnu Kencana (GWK) Bali ini, mengklaim pradesain rancangannya sebagai desain Istana Negara yang terpilih.
"Terpilih disain ISTANA NEGARA, di IKN (IBUKOTA NEGARA) Kaltim, Karya saya, melalui sayembara yg diadakan oleh PUPR. Terimakasih semua semoga saya bisa menyelesaikannya dgn baik," tulis Nyoman Nuarta tanpa tata bahasa baku di akun Instagramnya.
Sontak unggahannya itu pun jadi viral diperbincangkan penduduk jagat maya. Begitu viralnya, hingga turut menuai komentar dari dunia nyata. Bahkan beberapa asosiasi profesi pun tidak mau ketinggalan untuk ikut berkomentar.
Sejak diunggah, sudah banyak komentar yang datang meski didominasi kritikan. Pemilik akun Instagram @bambangsoemardiono, misalnya, yang mengkritik sudut pandang seniman perancang pradesain yang dia nilai kaku terlalu berorientasi pada tampilan fisik bangunan.
"Mohon izin, filosofi Burung Garuda menurut pendapat saya tidak secara physical tetapi lebih arsitektural dan kreatif jika ditampilkan secara konseptual melalui tampilan bangunan istana yang kokoh, kuat, enclosed (terlingkupi) serta ruang luar berupa ruang terbuka hijau yang proporsional sesuai visi IKN," tulis pemilik akun @bambangsoemardiono.
Menimpali, akun @uwingculun memandang pradesain karya Nyoman melenceng jauh dari visi awal pembangunan Ibukota Negara (IKN). "Ada konsep kepadatan lalu lintas, populasi, kejayaan dan kebanggaan agar kelak jika saya berkunjung ke Ibu Kota negara saya akan ingat bahwa saya, bumi, hutan dan pemikiran sudah tua," tulisnya.
Sindirian pun dilontarkan oleh pemilik akun @asepawal919. Dalam unggahannya, dia mempertanyakan sumber pembiayaan pembangunan Istana Negara berbentuk burung Garuda tersebut. "Desainnya sih bagus Pak, yang saya tanyakan anggarannya dari mana? Masa ngutang lagi," ujar akun @asepawal919.
Dari dunia nyata, kritikan juga dilontarkan para arsitek yang tergabung dalam Asosiasi Profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Green Building Council Indonesia (GBCI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP).
Melalui keterangn resmi yang diterima redaksi, ada 3 masukan dari kelima asosiasi profesi tersebut. Yang pertama, pradesain karya Nyoman kurang elok untuk jadi rancangan bangunan Istana Negara, melainkan lebih cocok menjadi desain monument atau tugu.
"Kami merekomendasikan versi burung Garuda disesuaikan menjadi monumen atau tugu saja pada posisi strategis tertentu di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan dilepaskan dari fungsi bangunan istana," tulis pernyataan kelima profesi itu.
Usulan yang kedua, desain bangunan gedung istana agar disayembarakan dengan prinsip dan ketentuan desain yang sudah disepakati dalam hal perancangan kawasan maupun tata ruangnya termasuk target menjadi model bangunan sehat beremisi nol.
Dan yang terakhir, terkait kepentingan awal pembangunan IKN, memulai pembangunan tidak harus melalui bangunan gedung, tetapi dapat melalui Tugu Nol yang dapat ditandai dengan membangun kembali lanskap hutan hujan tropis seperti penanaman kembali pohon endemik Kalimantan yang nantinya menjadi simbol bahwa pembangunan IKN memang merepresentasikan keberpihakan pada lingkungan.
Langkah kelima asosiasi profesi yang melayangkan surat, mendapatkan dukungan dari Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Achmad Tardiyana. Dia pun meminta Jokowi untuk memperhatikan surat tersebut.
Dia juga menyatakan ketidaksetujuannya pada mekanisme sayembara rancangan yang digelar pemerintah. Dia menilai seleksi terbatas itu hanya diikuti orang-orang tertentu, dan hasil karyanya pun mengecewakan.
Di mata dia, sebuah istana seharusnya menjadi cerminan dari pencapaian olah seni, sains, dan teknologi. Maka, sambung Achmad, sudah sepatutnya untuk urusan perancangan tersebut langsung diserahkan kepada ahlinya."Begitu banyak para ahli di negeri ini, mengapa hanya orang-orang tertentu yang diundang," katanya.
Senada dengan itu, Arsitek dan Desainer Reza Nurtjahja menyarankan Presiden Jokowi jangan terlalu fokus pada urusan memperkaya pradesain, melainkan pada urusan merombak kerangka acuan kerja (KAK) atau Term of References (TOR)-nya saat dilakukan sayembara terbatas.
"Sayembara umum saja, TOR-nya disiapkan dengan baik dan jadwal yang tepat. Jika hal ini diabaikan, kritik masyarakat akan semakin melebar. Mulai dari filosofi sebuah istana negara, dan lain-lain. Mereka harus memperhatikan proses desain, regulasinya (UU Arsitek), simbolisme, monumentalisme, fasisme atau bukan, dan lain-lain, seperti rujak, pedas, tapi enak," tutur Reza.
Rancangan yang berujung polemik ini akhirnya memaksa sang perancang buka suara. Kamis (1/4/2021) lalu, melalui keterangan tertulisnya, Nyoman menjelaskan ihwal alasannya memilih bentuk burung Garuda sebagai desain Istana Negara.
Menurut Nyoman, burung mitologis ini punya arti mendalam bagi Indonesia. Selain sebagai lambang negara, sebagaimana diresmikan Presiden Soekarno pada 11 Februari 1950 silam, Garuda juga merupakan simbol pemersatu bangsa.
Dari sisi filosofi, sosok Garuda dinilai kaya akan inspirasi. Garuda adalah sosok yang mencerminkan nilai-nilai positif di antaranya, pantang menyerah, disiplin, berdedikasi, satya wacana dan pemelihara keseimbangan. Lantas apa kaitannya dengan bangunan Istana Negara?
Nyoman menjawab, Istana Negara adalah pusat resolusi bagi seluruh permasalahan bangsa. Di tempat itu, tutur dia, segala perbedaan, segala silang pandang, keragamaan adat dan kepercayaan berkumpul untuk diberikan jalan keluar permasalahannya.
Maka, sambung dia, bisa dikatakan Istana Negara juga merupakan simbol pemersatu bangsa, sama seperti sosok Garuda. "Simbol persatuan yang dilekatkan pada Garuda, dalam Istana Negara akan benar-benar ditransformasikan dan diwujudkan dalam sebentuk pola arsitektur dengan mempertimbangkan aspek-aspek estetik, nilai guna, serta manfaat bagi kemajuan dunia pariwisata Tanah Air," tandas dia.
Pandangan berbeda disampaikan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) I Ketut Rana Wiarcha, yang menyebut pradesain itu tidak mencerminkan sebuah kemajuan peradaban bangsa Indonesia di era digital. "Sangat tidak mencerminkan kemajuan peradaban bangsa, terutama di era digital, dan era bangunan emisi rendah dan pasca-Covid-19 (new normal)," ujar Rana.
Ketua Dewan Pembina Ikatan Ahli Perencanaan Kota (IAP) Bernardus Djonoputro menganggap rancangan istana negara karya pematung asal Bali tersebut sebagai sinkretisme langgam modern dan zaman Kerajaan Hayam Wuruk.
Dari sisi teknis, dia juga meragukan kepastian rancangan itu menjadi wujud bangunan nyata, sebab tidak jelas soal dimana akan ditempatkan, di titik koordinat mana, bagaimana struktur tanahnya, airnya, dan lain sebagainya. "Karena UU IKN belum ada, pijakan masterplan-nya apa? Di aturan tata ruang kita, tidak ada masterplan," tutur pria yang akrab disapa Bernie itu.