PINUSI.COM - Pengawasan OJK, Otoritas Jasa Keuangan terhadap lembaga keuangan di tanah air masih lemah. OJK seakan kurang wibawa, kurang ditakuti. Bagaimana tidak, hingga kini masih ada saja lembaga keuangan—khususnya non bank—yang tidak mengindahkan aturan-aturan yang OJK buat.
Di sisi lain, Satgas Waspada Investasi (SWI) besutan OJK juga kecolongan, buktinya masih ada saja pelaku industri financial technology (fintech) ilegal. Bahkan fintech yang sudah SWI tutup pada September 2020 lalu, masih beroperasi hingga saat ini.
Belum lagi persoalan lain seperti, penggunaan data milik orang lain, tingginya bunga, penagihan dengan jasa debt collector di masa pandemi, cara penagihan yang tidak manusiawi, penyebaran data pribadi dan sederet pesoalan lainnya.
Pertengahan Januari 2021, redaksi menerima sejumlah keluhan dan curahan hati masyarakat seputar permasalahan yang membelitnya, berkenaan dengan jasa fintech. Penelusuran pun pinusi lakukan, dan menemui beberapa narasumber pada Jumat (5/2/2021).
Hasilnya, mayoritas mengeluhkan tidak adanya restrukturisasi, masih adanya penagihan di masa pandemi, dan tata cara penagihan yang tidak wajar. Atas permintaan dan pertimbangan keamanan, nama-nama narasumber disamarkan. Berikut hasil penelusuran pinusi:
Dana Mudah, Fintech Ilegal Anyar
Husein (35) menjadi korban teror dari aplikasi pinjaman online Dana Mudah. Kerabatnya yang meminjam karena himpitan pandemi, tengah kesulitan mencari uang untuk pelunasan. Pihak fintech tidak peduli, dan terus meneror.
“Jika tidak kerabat saya jawab, atau telat satu menit saja menjawab pasti langsung hubungi saya. Isi kalimatnya sungguh kasar penuh dengan makian, dan kata-kata kotor. Dijelaskan pun mereka tidak peduli,” keluh dia.
Lebih jauh dia menuturkan, pihak aplikasi pun mengancam akan menyebar luaskan data pribadi dan data utang nasabahnya ke segala penjuru. Bahkan pihak aplikasi bisa mengakses isi galeri foto di dalam ponsel nasabah
Penelusuran pinusi, nama aplikasi tersebut tidak masuk dalam daftar fintech legal yang diterbitkan OJK pada Desember 2020 lalu. Kuat dugaan, aplikasi ini ilegal dan tidak dalam pengawasan OJK.
Dana Now Kembali Beroperasi
Aplikasi yang satu ini masuk dalam daftar 126 fintech lending ilegal, berada di urutan ke-16 daftar tersebut. Daftar ini dipublikasikan oleh SWI OJK pada 25 September 2020 yang lalu, namun belum genap 5 bulan, Dana Now sudah bisa beroperasi kembali. Hasil penelusuran pinusi, diperoleh informasi yang menunjukkan adanya indikasi bahwa aplikasi ini berasal dari jaringan Tiongkok.
Aplikasi ini yang paling rajin meneror, seperti yang Dina (30) alami. Wanita yang terkena PHK dari sebuah Yayasan Pendidikan karena pandemi ini mengaku bukan tidak mau membayar tapi memang belum ada uangnya.
Dia sudah mengajukan restrukturisasi atau alternatif pelunasan lain. Namun, pihak aplikasi tidak mau tahu. Bahkan ucapan yang merendahkan dirinya sudah jadi santapannya sehari-hari kurun beberapa pekan terakhir
“Bahasanya sungguh kurang ajar. Tidak ada santun sama sekali, saya sudah mencoba bicara baik-baik tetap saja hinaan dan ancaman yang mereka lontarkan. Padahal setahu saya pemerintah melarang penagihan debt collector dan perbolehkan restrukturisasi pinjaman, tapi kata mereka itu tidak berlaku dan mereka punya aturan sendiri,” ceplos dia geram.
Fintech Legal Tak Kalah Menyeramkan
Ian (31) juga mengalami nasib seperti yang Husein alami. Bedanya,ada dua hal. Yang pertama bukan cuma dia saja, namun juga pasangannya yang ikut kena teror. Dan yang kedua, dia menghadapi tiga aplikasi fintech legal alias resmi.
Ketiganya, masuk dalam daftar 149 fintech berizin dan terdaftar OJK, ada pun nama ketiga aplikasi itu, ialah Ada Pundi, Bantu Saku dan Cairin. Bahkan, ada satu debt collector yang berani menantang dengan mengirimkan foto kepada Ian. Seakan, yakin betul bahwa dirinya kebal hukum.
“Seharusnya mereka yang terdaftar ini lebih tahu dan paham aturan dong. Masa kelakuannya sama kayak yang ilegal. Orang mana pun tidak ada yang mau dalam kondisi seperti, salahkan saja Covid-19. OJK mesti sanksi tegas mereka ini,” tukas Ian.
Kondisi di lapangan yang pinusi temui, sangat bertolak belakangan dengan apa yang OJK dan pemerintah tetapkan.Yakni, relaksasi kredit kepada masyarakat misalnya penundaan cicilan, tidak ada debt collector, dan lain sebagainya.
Artinya aplikasi-aplikasi tersebut dengan sadar tak mengindahkan amanat OJK melalui aturan POJK No. 11/POJK.03/2020. Aturan ini awalnya hanya berlangsung hingga Februari 2021, namun berpotensi ada perpanjangan hingga satu tahun ke depan dan berakhir pada Februari 2022.
Sederet Permasalahan Fintech
Industri fintech lekat dengan pelanggaran terhadap konsumen. Salah satu penyebab utamanya yaitu maraknya fintech ilegal yang menjerat masyarakat bunga tinggi sehingga pinjaman yang awalnya terbilang kecil menjadi bengkak karena terdapat bunga dan denda yang di luar ketentuan. Nasabah jadi kesulitan mengembalikan pinjaman tersebut apabila melewati jatuh tempo.
Padahal, ketentuan mengenai ini sudah tertuang dalam peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 serta kode perilaku atau code of conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam aturan tersebut, bunga tidak boleh mebihi 0,08% per hari dengan penagihan maksimal 90 hari.
Sehingga pengembalian tidak melebihi 100% dari total pinjaman. Namun, permasalahan yang terjadi pada fintech ilegal, nasabah bisa terkena kewajiban pengembalian utang melebihi batas aturan tersebut. Selain itu, Fintech ilegal tidak segan mencuri data pribadi nasabah yang terlambat mengembalikan pinjaman tersebut.
Pelaku mencuri data pribadi seperti nomor kontak, foto serta video yang terdapat dalam telepon genggam nasabah. Melalui data pribadi tersebut, pelaku menyebar data pribadi kepada rekan nasabah. Selain itu, pelaku juga meneror atau mengancam nasabah agar mengembalikan pinjaman tersebut.
“Permasalahan aduan hampir sama baik itu legal maupun ilegal yaitu tata cara penagihan yang kasar tidak beretika ketika konsumen menunggak pembayaran setelah jatuh tempo. Lalu, pengalihan kontak tanpa izin konsumen ketika konsumen melakukan pinjaman online otomatis kontak yang ada di handphone itu berpindah ke perusahaan pinjaman online dan ketika konsumen menunggak pembayaran, orang-orang terdekat akan jadi sasaran oleh pihak pinjol dan menagih utangnya,” jelas Kepala Bidang Pengaduan YLKI, Aji Warsito, sebagaimana pinusi kutip dari hukumonline.
Kemudian, persoalan lainnya adalah urusan administrasi yang jadi beban konsumen sehingga dana yang nasabah terima lebih rendah dari pinjaman sebenarnya. “Ketika konsumen mengajukan pinjaman ada biaya-biaya administrasi, misalnya pinjaman Rp 1 juta yang diberikan ke konsumen hanya Rp 800 ribu,” tambah Aji.
Dia menilai maraknya persoalan ini karena belum ada regulasi setingkat undang-undang yang mengatur fintech. Menurutnya, tanpa ada UU tersebut maka upaya pecegahan yang pemerintah lakukan saat ini belum optimal.
“Segeralah pemerintah membuat suatu regulasi yang mengatur fintech jangan hanya diatur dengan peraturan OJK agar permasalahan yang diadukan konsumen atau borrower fintech tidak menjadi bola salju kedepannya,” tandas Aji. (*)