Masjid istiqlal bukan sekadar rumah ibadah melainkan juga sebuah sejarah baru bangsa
PINUSI.COM – Masjid istiqlal kini sudah berusia 43 tahun. Masjid yang menjadi simbol toleransi ini, harus menghabiskan setengah dari usianya untuk proses pembangunan. 23 tahun setelah peletakan batu pertamanya, peresmian masjid yang berseberangan dengan Gereja Katedral ini tepat di tanggal 22 Februari.
Setelah nyaris setengah abad berdiri, baru di tahun 2020, masa kepemimpinan periode ke-2 Presiden Joko Widodo, masjid yang memiliki luas luas 9,5 hektar ini direnovasi secara besar-besaran. Pengerjaannya di bawah garapan Kementerian Perkerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) dengan biaya sebesar Rp 475 miliar.
"Masjid Istiqlal kini bersolek lebih megah setelah direnovasi besar-besaran oleh Kementerian PUPR dengan biaya Rp 475 miliar. Inilah wajah baru masjid terbesar di Asia Tenggara berkapasitas 200.000 jemaah itu," tulis Jokowi di akun Twitter resminya, Sabtu (25/7/2020).
Jokowi—sapaan Presiden Joko Widodo—menjelaskan bahwa tujuan renovasi ini untuk membuat Istiqlal menjadi semakin megah. Namun dia menekankan renovasi bukan ajang gagah-gagahan tapi sebagai bentuk kebanggaan bangsa.
Kemudian Jokowi meresmikan renovasi Istiqlal pada Kamis (7/1/2021). Ada pun pemugaran di antarannya menata ulang lanskap, menata lantai masjid dan lain sebagainya. “Lanskapnya ditata ulang menjadi indah dan semakin kelihatan tertata rapi. Lantainya juga saya lihat sudah tiga kali, lebih berkilau. Tata cahayanya juga diganti, sangat modern dan indah. Sungai yang membelah Istiqlal juga semakin bersih dan rapi,” jelasnya kala itu.
Kembali ke sejarah pembangunan masjid. Pada tahun 1950-an, Presiden Soekarno atau bung Karno mencetuskan ide pembangunan Masjid Istiqlal. Ide tersebut berlanjut dengan pembentukan Yayasan masjid Istiqlal di tahun 1954, demi kelancaran pembangunan masjid.
Soichim dalam bukunya berjudul 'Masjid Istiqlal Sebuah Monumen Kemerdekaan', membeberkan hasrat bung Karno yang ingin Masjid Istiqlal menjadi sejarah baru bangsa Indonesia, sekaligus juga menegakkan kemerdekaan dari penjajah.
Pembangunan Diawali Perdebatan
Meski Yayasan telah terbentuk, bukan berarti pembangunan berjalan mudah. Salah satu dinamika yang muncul saat hendak membangun Masjid Istiqlal adalah letak pembangunan masjid dengan daya tampung 200.000 jemaah di tengah pusat kota Jakarta.
Saat itu Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta—bung Hatta—sempat mengusulkan agar Istiqlal berdiri di sekitar Jalan MH Thamrin. Tepatnya, di tempat Hotel Indonesia Kempinsky berdiri saat ini.
Berbeda dengan Hatta, bung Karno justru ngotot ingin membangun Istiqlal di atas lahan bekas benteng Belanda, Citadel, karena ada alasan politis dan artistik. Soekarno menilai, lekas segera mengubur benteng Citadel yang merupakan monumen penjajahanr dan menggantinya dengan monumen kemerdekaan yaitu masjid Istiqlal.
Alasan dari sisi artistik, letak Istiqlal sangat strategis, sekelilingnya ada beberapa jalan protokol seperti Jalan Perwira, Jalan Katedral, Jalan Pintu Air dan Jalan Veteran. Selain itu, ada dua sungai Banjir Kanal Ciliwung yang mengalir di sisi barat dan timur sehingga masjid tidak akan kekurangan sumber air untuk air wudhu ratusan ribu jamaah.
Meski harus melalui perdebatan, toh tetap lokasi usulan bung Karno lah yang menjadi lokasi pembangunan. Setelah kepastian lokasi sudah tersepakati, maka pada tahun 1955 bung Karno mengadakan sayembara untuk mencari arsitek untuk masjid yang namanya bermakna merdeka dalam bahasa arab ini.
Sayembara menjaring 30 peserta yang kemudian tersaring lagi menjadi 22 peserta. Dan pada akhirnya mengerucut menjadi lima orang finalis. Bung Karno selaku kepala juri sayembara ini, pun memilih Friedrich Silaban menjadi arsitek masjid Istiqlal pada Juli 1955. Menariknya, Friedrich adalah seorang Kristen Protestan yang berayahkan seorang pendeta.
Usai bung Karno tunjuk, Friedrich kemudian berkeliling ke seluruh Indonesia dan melihat beberapa masjid di dunia, untuk dijadikan referensi desain arsitektur. Namun ingat, rancangan Istiqlal terjamin orisinilitasnya bukan hasil meniru masjid mana pun.
"Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya. Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang orang Islam kehendaki terhadap sebuah masjid," kata Friedrich, seperti kutipan berita di Harian Kompas edisi 21 Februari 1978.
Tiap Sudut Masjid Sarat Makna
Dalam proses perancangan masjid, Friedrich memasukkan banyak simbol yang berkaitan dengan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Kubah masjid, misalnya, berdiameter 45 meter yang melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia. Ada ayat kursi yang melingkari kubah itu.
12 tiang menopang masjid, sesuai angka dari tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal 1961. Lalu, ada empat lantai balkon dan satu lantai dasar. Total lima lantai itu melambangkan 5 Rukun Islam, jumlah salat wajib dalam sehari, dan jumlah sila dalam Pancasila. Kemudian, terdapat menara setinggi 6.666 sentimeter di bagian luar masjid. Angka itu merupakan keseluruhan jumlah ayat dalam Al Quran.
Pemancangan tiang pertama terlaksana pada tahun 1961. Ada pun alasan yang membuat proses pembangunannya memakan waktu lama, adalah beragam gejolak politik dan ekonomi. Misalnya, minimnya dana akibat krisis ekonomi pada 1960-an.
Masalah lain yang menghambat pembangunan Masjid Istiqlal adalah meletusnya peristiwa G30S/PKI. Setelah sejumlah permasalahan, pembangunan masjid Istiqlal akhirnya selesai dan kemudian Presiden Soeharto meresmikannya pada 22 Februari 1978.