search:
|
Aktual

5 TAHUN MANDEK, SAMPAI KAPAN DPR DEBAT KUSIR RUU PKS?

carrisaeltr/ Jumat, 15 Jan 2021 16:30 WIB
5 TAHUN MANDEK, SAMPAI KAPAN DPR DEBAT KUSIR RUU PKS?

Banyak pihak mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS (Foto: Mahkamahnews.org)


Banyak pihak mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS

PINUSI.COM - RUU PKS atau Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali masuk Proyek Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat (Prolegnas DPR RI) tahun 2021.  Langkah ini mengundang desakan dari Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), yang mengharapkan RUU ini segera sah menjadi Undang-undang.

Dalam keterangan resminya pada Jumat (15/1/2021), Bintang pun heran dan bertanya-tanya mengapa RUU ini tak kunjung jadi Undang-undang. Mulai dari pembuatan konsep, naskah akademik hingga terbentuk rancangannya, pun sudah melewati proses panjang, memakan waktu lama.

Sejatinya, kata Bintang, tidak ada alasan untuk menunda, sebab kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat di berbagai daerah. Berdasarkan data pelaporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) tercatat 6.554 kasus kekerasan yang menimpa dan menjadikan perempuan sebagai korban, sepanjang tahun 2020.

RUU PKS
Bintang Puspayoga, Menteri PPPA

Data ini, tutur Bintang, menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan pada perempuan sudah memprihatinkan, tingkat urgensinya jelas kentara. Dia menegaskan, pengesahan RUU PKS merupakan komitmen sekaligus mandat Pancasila dan UUD 1945.

Sisi lainnya, ucap dia, pengesahan tersebut akan mengisi celah kekosongan hukum mulai dari upaya pencegahan, hingga penanganan dan rehabilitasi, dari perspektif korban, sehingga bisa memberikan efek jera pada pelaku.

BACA JUGA: KINERJANYA DIPUJI DPR, ANGGARAN KEMEN PPPA BERPOTENSI DITAMBAH

“Bukan saja berdampak bagi korban, melainkan juga berdampak pada pola pikir masyarakat secara luas. Kita juga harus bisa melindungi generasi selanjutnya dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar menghapuskan kekerasan seksual,” tegas dia.

Bintang pun mengimbau para wakil rakyat untuk menyadari bahwa sekarang adalah momentum yang tepat untuk mengesahkan RUU PKS. Mengingat masa depan perempuan dan anak saat ini masih terancam lantaran belum adanya sistem pencegahan yang holistik.

“Untuk itu, RUU PKS harus segera pengeseahannya untuk menutup dan menyempurnakan celah-celah ini, sehingga kita dapat melindungi bangsa kita dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar dapat menghapuskan kekerasan seksual,” tegas dia.

DESAKAN MENGALIR DERAS

RUU PKS pernah beberapa kali masuk Prolegnas, periode 2014-2019. Bahkan drafnya sudah jadi dan beredar di masyarakat. Namun, tak kunjung DPR mengesahkannya karena belum sepakat soal isi materi. Terakhir, DPR mencoret RUU ini dari daftar Prolegnas Prioritas 2020. Langkah para wakil rakyat mengundang banyak protes dari masyarakat, utamanya dari kelompok-kelompok yang fokus mengawal RUU ini.

Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Advokasi Fatayat NU Wahidah Suaib, melalui keterangan rilis pers yang redaksi terima pada Jumat (15/1/2021) mengatakan, meski perjalanan pengesahannya sangat panjang dan melelahkan, namun harus tetap memperjuangkannya.

Ilustrasi Kekerasan Pada Perempuan

“Jangankan pengesahan, definisi kekerasan seksual dan sistematika RUU PKS saja belum berhasil mencapai sepakat. Ini merupakan refleksi yang mesti menjadi evaluasi bersama agar hal tersebut tidak terjadi lagi pada DPR periode yang akan datang. Kami siap untuk mendukung agar RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021,”ungkap Wahidah.

Senada dengan itu, Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan turut mengingatkan soal adanya dampak psikologis dan stigma yang mungkin saja korban kekerasan derita. Bukan hal mustahil para korban tidak memiliki hasrat untuk melanjutkan hidupnya.

BACA JUGA: KLARIFIKASI JOKOWI TAK MENYURUTKAN GELOMBANG PROTES OMNIBUS LAW

“Korban bisa saja tidak dapat pulih secara optimal sehingga tidak akan bisa berperan aktif dalam pembangunan nasional. Kalau kita lihat lagi bagaimana capaian pembangunan nasional dengan menggunakan indicator SDG’s, ini juga bisa memastikan bahwa dengan tingginya angka kekerasan seksual dapat mengakibatkan target SDG’s di tahun 2030 tidak tercapai,” tegas Maria.

Asni Samanik, aktivis LBH APIK menyorot dari sisi hukum pidana. Menurutnya, selama ini banyak kasus kekerasan yang menyasar perempuan sebagai korban yang tidak berlanjut proses kasusnya akibat hukum di Indonesia belum mengakomodasi semua bentuk dan jenis kasus kekerasan pada perempuan.

 “Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal dua jenis kekerasan saja, yakni perkosaan dan perbuatan cabul dan tidak dikenal istilah pelecehan seksual.  Hal ini berlaku sampai sekarang. Selain itu, pada UU Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU TPPO)  hanya terdapat kata-kata eksploitasi seksual. Di KUHP tidak ada kata-kata bentuk kekerasan seksual itu,” jelas Asni.

SUMBER PERDEBATAN

Ada pun alasan DPR tidak jadi mengesahkan RUU PKS karena banyak materinya yang bersinggungan dengan materi RUU KUHP. Lantas, apa saja larangan dan tindak pidana yang termuat dalam materi draf RUU PKS itu, hingga menghasilkan perdebatan panjang?

Menurut catatan redaksi, draf RUU PKS yang pernah tersebar, merumuskan kekerasan seksual dalam 9 kategori sebagai berikut:

  1. pelecehan seksual;
  2. eksploitasi seksual;
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan aborsi;
  5. perkosaan;
  6. pemaksaan perkawinan;
  7. pemaksaan pelacuran;
  8. perbudakan seksual; dan/atau
  9. penyiksaan seksual.
Ilustrasi Pelecehan Seksual Fisik

Pelecehan seksual terbagi dalam dua kategori, yaitu pelecehan fisik dan pelecehan nonfisik. Pasal 12 sebut, pelecehan seksual sebagaimana maksud Pasal 11 ayat (2) huruf a adalah Kekerasan Seksual dalam bentuk ‘tindakan fisik’ atau ‘non-fisik’ kepada orang lain, yang berhubungan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, rendahkan, atau permalukan.

BACA JUGA: TRUE BEAUTY: TAMPIL CANTIK TANPA OPLAS

Kemudian, Pasal 12 ayat 1 RUU PKS menjelaskan, maksud dengan 'tindakan fisik' antara lain sentuhan, colekan, serangan, atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang, termasuk dada, payudara, pantat, dan rambut.

Sedangkan, tindakan non-fisik artinya sebagai bentuk ancaman secara verbal dan non-verbal, secara langsung atau tidak langsung. Namun tidak terbatas pada:

  1. siulan, kedipan mata;
  2. gerakan atau isyarat atau bahasa tubuh yang memperlihatkan atau menyentuh atau mempermainkan alat kelamin;
  3. ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual;
  4. mempertunjukkan materi-materi pornografi; dan
  5. memfoto secara diam-diam dan atau mengintip seseorang.
Ilustrasi Pelecehan Seksual Non-Fisik

Bagi pihak yang telah melakukan pelecehan seksual non-fisik seperti bersiul atau mengedipkan mata, bisa masuk ranah pidana. Tapi tingkat hukuman bergantung pada ringan atau beratnya perbuatannya. Berikut rinciannya:

  1. Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual nonfisik yang mengakibatkan seseorang merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan dipidana rehabilitasi khusus paling lama 1 bulan.
  2. Apa bila orang tersebut adalah orang tua/keluarga, penanggung jawab lembaga pendidikan, atasan, tokoh agama, maka hukumannya berupa rehabilitasi 1 bulan ditambah pidana kerja sosial.

Sementara, bagi pihak yang telah melakukan pelecehan seksual fisik, bisa masuk ranah pidaha apa bila korban:

  1. Merasa terhina, direndahkan, atau dipermalukan, pelaku dihukum maksimal 3 tahun penjara.
  2. Adalah anak-anak, pelaku dihukum maksimal 4 tahun penjara.
  3. Adalah disabilitas, pelaku dihukum maksimal 4 tahun penjara.
  4. Merupakan anak disabilitas, pelaku dihukum maksimal 5 tahun penjara.
  5. Mengalami guncangan jiwa, pelaku dihukum minimal 4 tahun hingga 8 tahun penjara.
  6. Pelaku adalah atasan korban atau tokoh agama atau tokoh masyarakat atau pejabat, dihukum minimal 5 tahun penjara dan maksimal 10 tahun penjara.
  7. Pelaku adalah orang tua atau keluarga atau orang yang bertanggung jawab di lingkungan pendidikan, dihukum minimal 5 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara.


Editor: Cipto Aldi
Penulis: carrisaeltr

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook