Kehadiran GeNose C19 menuai pro dan kontra. Berpotensi jadi media penularan.
PINUSI.COM - Kemunculan GeNose penuh dengan kebanggaan, pemerintah gadang-gadang alat ini sebagai salah satu solusi dalam memetakan penyebaran Covid-19 di tanah air. Klaimnya, alat pendeteksi karya anak bangsa ini mampu mendeteksi virus SARS-CoV-2 hanya lewat hembusan napas dengan akurasi sebesar 90 persen.
Prof. Dr. Eng Kuwat Triyana dan timnya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, adalah pemrakarsa alat ini. Nama GeNose mulai mencuat ke permukaan sejak tahap uji diagnostik pada Oktober 2020 silam.
Setelahnya alat yang bernama lengkap GeNose C19 ini tidak terdengar gaungnya lagi, tapi tampaknya hasil uji diagnostik berjalan lancar. Sebab pada 26 Desember 2020 silam, muncul kabar bahwa alat ini sudah mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Bahkan, sudah merampungkan tahap produksi massal batch pertama, sebanyak 100 unit, dengan harga satuannya Rp 40 juta dan nanti banderol harga eceran tertingginya sebesar Rp 62 juta. Belakangan diketahui, bahwa pendana produksi ini adalah Kementerian Riset dan teknologi, bersama Badan Intelijen Negara.
Kuwat mengatakan meski jumlah unit GeNose yang saat ini tersedia masih terbatas, namun harapannya bisa memberikan dampak maksimal. “Dengan 100 unit batch pertama, kami berharap dapat melakukan 120 tes per alat atau atau totalnya 12 ribu orang sehari,” kata Kuwat.
Dian Kesumapramudya Nurputra, salah satu anggota tim Kuwat, menjelaskan lebih jauh soal cara kerja alat ini. Menurut dia, GeNose memiliki cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC), yang terbentuk karena adanya infeksi Covid-19 yang keluar bersama napas. Orang-orang yang akan GeNose uji, terlebih dahulu mengembuskan napas ke tabung khusus.
BACA JUGA: VAKSIN GENERASI KE-2 AKAN BERFOKUS PENCEGAHAN INFEKSI
Sensor-sensor dalam tabung itu lalu bekerja mendeteksi VOC. Kemudian, data yang GeNose peroleh melalui proses pengolahan teknologi kecerdasan buatan hingga memunculkan hasil. Dalam waktu kurang dari 2 menit, GeNose bisa mendeteksi apakah seseorang positif atau negatif Covid-19.
“GeNose telah melalui uji profiling dengan menggunakan 600 sampel data valid di Rumah Sakit Bhayangkara dan Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid-19 Bambanglipuro, Yogyakarta. Dari pengujian itu, tingkat akurasi GeNose mencapai 97 persen,” jelas dia.
Dipuji & Dikritik
Ramai-ramai para Menteri memuji kehadiran inovasi karya anak bangsa ini. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi misalnya. Yang langsung memutuskan untuk memakai GeNose di layanan moda transportasi umum. Berdasarkan surat edaran yang Kemenhub layangkan kepada operator transportasi, mulai 5 Februari 2021 mendatang alat ini mulai digunakan di stasiun.
Menteri lainnya adalah Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Yang bersama Mehub turut ikut menyaksikan langsung penggunaan alat GeNose, stasiun Pasar Senen.
Selain itu akan merambah fasilitas transportasi lain seperti Bandara dan pelabuhan. Kemudian GeNose akan pemerintah gunakan di fasilitas umum lainnya, seperti hotel, pusat perbelanjaan, bahkan sampai di tingkat Rukun Tetangga (RT).
Di sisi lain, kehadiran GeNose C19 juga menuai kritikan. Seperti yang diutarakan Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman yang menilai penggunaan alat ini masih belum tepat sebab masih terlalu dini untuk mengandalakan alat ini sebagai media pemetaan penyebaran Covid-19.
"Jangan dalam kondisi ini kita terburu-buru tidak matang, tidak cermat. Sehingga bukan meningkatkan respon kita terhadap penanganan virus, malah bisa kontra produktif," ujarnya dia Senin (25/1/2021) sebagaimana melansir CNNIndonesia.com.
Dicky menegaskan, dalam situasi yang sangat serius ini perlu upaya yang berdampak besar sekaligus menggunakan peralatan yang sudah jelas teruji kemampuannya. Karena, penggunannya tidak jauh berbeda dengan alat pengecek suhu badan yang sering masyarakat jumpai setiap harinya.
Selain itu, kata dia, GeNose juga tidak bisa dibandingkan dengan rapid test antigen, apa lagi dengan PCR test Covid-19. "Oh itu jauh sekali. Itu salah kaprah. Ini yang berbahaya, karena selain alatnya sendiri masih dalam proses uji lab dan validasi, jangan sampai tujuannya screening malah yang terjadi nantinya malah paparan," katanya.
BACA JUGA: KASUS COVID-19 DI INDONESIA TERTINGGI SE-ASIA TENGGARA
Lebih jauh dia menyebut alat sejenis sudah banyak keberadaannya di negara-negara lain, bahkan sejak awal pandemi tahun lalu, seperti Israel dan Australia. Namun kedua negara tersebut tidak buru-buru memantekannya sebagai alat screening.
Sebelumnya, Staf Khusus Menristek Ekoputro Adiyajanto mengungkap sisi kelemahan dari GeNose. Yakni efektivitasnya menurun jika ada bau menyengat seperti rokok atau makanan sejeni petai dan jengkol.
Media Penularan Baru
Maka dari itu ada prosedur yang harus terpenuhi dalam menggunakan alat ini. Dimana, setengah jam sebelum pengetesan, orang yang akan menjalani tes tidak boleh merokok, minum atau makanan makanan yang memiliki aroma dan rasa yang kuat seperti misalnya teh, kopi, durian dan sebagainya.
Hal senada juga Ahmad Rusdjan sampaikan. Ahli Biologi Molekuer ini menegaskan, gas yang keluar dari mulut atau nafas untuk tes GeNose nanti memang sangat sensitif. Maka jika tercampur bau-bau lain bisa mempengaruhi hasil.
Di sisi lain, dia mengatakan, prosedur larangan makan dan minum setengah jam sebelum pengetesan adalah hal yang sulit bisa terpantau di lapangan. Sebab, tidak semua orang memiliki kondisi tubuh yang bisa menahan lapar dan dahaga selama itu. “Atau bagaimana dengan orang yang sakit Magh. Itu kan dia suka bersendawa, nah apa itu juga berpengaruh," kata dia.
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra juga menilai tidak tepat jika pemerintah mengandalkan GeNose sebagai screening awal Covid-19 bagi pelaku perjalanan dinilai. Menurut dia tidak praktis dalam penggunaannya.
Bahkan dia menyebut GeNose juga tidak bisa digunakan untuk active case finding atau penemuan kasus baru. "Walaupun GeNose sudah diteliti dan dikaji, tapi memang tidak praktis dalam penggunaannya, jadi memang tidak tepat, dan memang bukan sebagai active case finding," tutur Hermawan, Minggu (24/1/2021) kemarin.
BACA JUGA: PERKEMBANGAN PANDEMI COVID-19 DI TANAH AIR
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane juga mengatakan hal serupa. Dia khawatir alat ini berpotensi menjadi media penularan yang baru. Selain itu, efektivitas peralatan tersebut dia nilai masih sebatas klaim sepihak.
"Ada risiko menularkan pada orang lain yang ada di belakangnya. Kemudian, GeNose belum menjadi standar dalam pengendalian, publikasi efektivitasnya juga belum rilis sampai saat ini, baru ada klaim sepihak saja dari peneliti," tukas Masdalina.