search:
|
PinTertainment

21 April Peringati Hari Kartini, Berikut Beberapa Tulisan Soal Emansipasi

Kamis, 21 Apr 2022 13:54 WIB
21 April Peringati Hari Kartini, Berikut Beberapa Tulisan Soal Emansipasi

PINUSI.COM – Pada tiap 21 April merupakan momen paling krusial untuk mengingat kembali pahlawan perempuan asal Jepara, Jawa Timur, Raden Ajeng Kartini. Raden Ajeng Kartini terkenal karena perjuangannya dalam emansipasi wanita.

Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan nasional Indonesia berasal dari Jepara Jawa Timur yang lahir pada 21 April 1879, Kartini merupakan turunan dari kalangan priyayi (bangsawan Jawa). Nama ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.

Kartini besar dilingkungan yang serba cukup namun ia memiliki kegelisahan soal perempuan yang harus mengikuti budaya namun ia melihat dengan pola rasional dimana aturan tersebut justu mendiskriminasi perempuan kala itu.

Kartini memiliki hobi yakni menulis meskipun sekolah hanya sampai umur 12 tahun, namun pengetatahuannya melampaui zamannya dimana karena memiliki kecerdasan diatas rata rata, namun Kartini harus memutuskan tidak melanjutkan bersekolah karena harus dipingit.

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya.

Kegelisahan Kartini terhadap perempuan

Kartini memperjuangkan emansipasi melalui tulisan tulisan dan ia menyindir dalam budaya jawa soal perempuan pada saat itu, yakni :

“Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata, pendiam, tak bergerak seperti boneka kayu, bicara hanya bila benar benar perlu dengan suara berbisik, sampai semut pun tak sanggup mendengarnya. Berjalan setindak demi setindak seperti siput, tertawa halus tanpa suara, tanpa membuka bibir, sungguh buruk nian kalau giginya tampak seperti luwak.”   

Kartini, Surat kepada Ny. Abendanon, Agustus 1900.

Kartini menilai perempuan itu semuanya harus dilihat dari fisik bukan dari isi kepalanya, kemudian Kartini gelisah karena perempuan tidak berdaya yang harus mengikuti budaya yang sudah ada sejak dahulu.

“Satu satunya jalan bagi gadis Jawa, terutama bagi kalanga ningrat adalah perkawinan. Tetapi apa yang terjadi dengan perkawinan yang mula mula oleh tuhan ditentukan sebagai tujuan tertinggi bagi wanita? Perkawinan semestinya merupakan panggilan suci telah menjadi semacam jabatan. Jabatan yang harus dikerjakan dengan syarat syarat merendahkan dan mencemarkan bagi wanita wanita kita. Atas perintah bapak, paman, atau kakaknya, seorang gadis harus siap untuk mengikuti seorang laki laki yang tidak pernah dikenalnya, yang tidak jarang telah mempunyai istri dan anak anak. Pendapat tidak ditanya, ia harus menurut saja.”

Kartini, surat kepada Nyonya Van Kol. 19 Agustus tahun 1901.

Kartini kerapkali sedih dan menuangkan emosionalnya kedalam tulisan, ia harus menerima sebagai perempuan yang dipoligami dan menjadi istri keempat dari Bupati Jepara.

“Saya putus asa, dengan rasa pedih perih saya puntir puntir tangan saya menjadi satu. Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu. dan yang aduh, alangkah kejamnya! dilindungi oleh ajaran islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan, korbannya. saat aku membayangkan mungkin suatu nasib akan menimpakan saya, suatu siksaan yang kejam, bernama poligami itu! saya tidak mau, mulutku menjerit, hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali.”

Kartini, surat kepada Nyonya Van Kol, 19 Agustus 1901.

Kartini memiliki pemikiran yang menolak terhadap budaya dan menurutnya ini tidak rasional, jelas ini melampaui zamannya. Kartini memotret pada era itu dimana perempuan sangat direndahkan dan laki laki sudah pasti lebih unggul daripada perempuan.

“Tidak usah kita herankan lagi apa sebabnya nafsu laki laki memikirkan dirinya sendiri saja, bila kita ingat, bahwa laki laki itu sejak semasa kecilnya, sudah dilebih lebihkan daripada anak perempuan. Dan masa kanak kanak laki laki itu sudah diajar merendahkan derajat perempuan. Bukankah acapkali kudengar seorang ibu berkata kepada anaknya laki laki bila ia jatuh, menangis, (cis. anak laki laki menangis tiada malu seperti anak perempuan).”

Surat kepada Stella Zeeghandellar, 23 Agustus 1900.

Kegelisahan Kartini pada keadaan rakyat

Karena kecerdasaannya dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, Kartini sedih karena rakyatnya kala itu mengalami sengsara yang luar biasa.

“Apa sebab orang Jawa menjadi begitu miskin? pemotong rumput yang tiap hari penghasilannya hanya 10 atau 12 sen terkena pajak mata pencaharian. Untuk tiap ekor kambing atau domba yang disembelih, harus dibayar pajak 20 sen. Demikianlah penjual sate yang tiap hari menyembelih dua ekor kambing, harus membayar pajak setiap tahun 144 gulden. Lalu berapakah penghasilan mereka ? hanya cukup untuk hidup.”

“Disini ada barang yang lebih jahat daripada alkohol, yaitu candu. Tak dapat dikatakan betapa besarnya kesengsaraan yang disebabkan oleh candu atas negeriku, rakyatku. Candu itu ibarat penyakit sampar bagi Jawa. Sebetulnya lebih jahat dari penyakit sampar, penyakit sampar tidak merajalela untuk selama lamanya,cepat atau lambat ia akan hilang. Tetapi akibat dari candu akan membesar. makin meluas, dan tidak akan lenyap. karena dilindungi oleh pemerintah! makin banyak orang mengisap candu di Jawa, makin penuh peti mati orang pemerintah. penjualan candu merupakan salah satu sumber kekayaan yang paling besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Peduli apa kesejahteraan rakyat ... yang penting pemerintah memperoleh keuntungan besar. Kutukan rakyat mengisi kantong pemerintah Hindia Belanda dengan emas berton ton, berjuta juta.”


Tuliskan Komentar anda dari account Facebook