PINUSI.COM - Mendapat penolakan dari sekitar memang sulit. Namun, sebagian orang langsung merasa kepercayaan dirinya runtuh ketika ditolak atau sangat malu karena kritik. Emma punya pengalaman ditinggalkan oleh ayah kandungnya. Bukan hanya sekali, tapi dua kali.
Keluarga kami pernah rujuk kembali, tapi kemudian ayah meninggalkan kami untuk bersama kekasihnya," ujarnya. Tumbuh besar tanpa figur ayah, Emma punya perasaan dominan takut ditolak. "Sebagai guru yoga freelance, terkadang ada klien yang tidak memperpanjang lesnya. Hal ini sering 'saya ambil hati'," katanya.
Hal yang serupa dialami Zurlia (28) yang mengaku sulit menerima penolakan dan tak bisa merasa bangga pada dirinya. Ia meyakini hal itu karena rasa traumanya
"Sebesar apa pun prestasi saya, saya merasa selalu ada kekurangan. Tak pernah merasa cukup. Saya juga selalu ingin membuat orang lain terksesan dan takut jika dipermalukan publik," katanya. Apa yang dialami oleh Emma dan Zurlia disebut sebagai "rejection sensitive dysphoria" alias kecemasan sensitif penolakan.
Menurut psikiatris dengan spesialisasi ADHD, Dr.William W.Dodson, kecemasan akan penolakan itu bukanlah diagnosis atu gangguan mental. "Ini adalah istilah nonklinis untuk menggambarkan gejala yang terkait dengan takut berlebihan akan penolakan yang menyebabkan stres, dan tanpa disadari mengganggu hubungannya dengan sekitar," kata Dodson.
Gejala lain meliputi merasa dipermalukan karena dikritik, berusaha berlebihan untuk mengesankan orang lain, menghindari tugas karena tak mau dipermalukan, mood berantakan saat merasa ditolak, self-esteem rendah, dan sering merasa diri gagal.
Walau rasa takut ditolak adalah normal, tetapi pada orang dengan kecemasan ia akan sulit untuk bangkit dan menata emosinya dari perasaan tertolak. Efeknya mereka akan mengalami reaksi emosional berlebihan. (*)