search:
|
PinNews

Sudirman Said: Hilangnya Etika dan Moralitas Kepemimpinan dengan Melemahkan Skema Kontrol Berpotensi Rusak Demokrasi

arie prasetyo/ Minggu, 03 Mar 2024 09:00 WIB
Sudirman Said: Hilangnya Etika dan Moralitas Kepemimpinan dengan Melemahkan Skema Kontrol Berpotensi Rusak Demokrasi

Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said menilai, hilangnya etika dan moralitas kepemimpinan dengan melemahkan skema kontrol, berpotensi mengakibatkan tingkat kerusakan demokrasi yang berat dan tidak bisa diperbaiki dalam waktu cepat. Foto: PINUSI.COM/Arie Prasetyo


PINUSI.COM - Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said menilai, hilangnya etika dan moralitas kepemimpinan dengan melemahkan skema kontrol, berpotensi mengakibatkan tingkat kerusakan demokrasi yang berat dan tidak bisa diperbaiki dalam waktu cepat.

"Sehingga kerusakan (penyelenggaraan negara dan iklim demokrasi) akan terjadi terus-menerus dalam waktu 20 tahun depan."

"Katanya bisik-bisik di luar sudah ada yang membuat skenario bahwa keadaan ini akan berlangsung selama 20-25 tahun."

"Bahkan, sudah ada yang bisik-bisik sudah seluruh partai politik dimasukkan saja dalam koalisi besar permanen jangka panjang, tinggal satu atau dua (parpol) ditinggalkan di luar koalisi," kata Sudirman dalam Diskusi Publik 'Rethinking Indonesia: Pemilu Terburuk dalam Sejarah Indonesia, Akankah Kita Terpuruk?' Yang diselenggarakan Desantara Foundation di Jakarta, Sabtu (2/3/2024).

Diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh seperti Sandrayati Moniaga (eks Komisioner Komnas HAM), Eros Djarot (Politikus & Budayawan), Jumhur Hidayat, Muhammad Nurkhoiron, Yusuf Martak, dan lainnya.

Desantara akan menggelar diskusi Rethinking Indonesia secara rutin untuk mewujudkan langkah konkret dalam mengatasi persoalan demokrasi yang sedang tidak baik-baik saja.

Dia menilai, jika skenario itu benar adanya, maka menjadi iktikad buruk yang akan membuat masyarakat terjebak dalam kondisi rusaknya demokrasi, lemahnya pengawasan dalam penyelenggaraan negara, dan kepemimpinan yang melanggar etik dan moralitas.

Sudirman menjelaskan, kepemimpinan menjadi faktor penting dalam menentukan kemajuan atau kemunduran sebuah institusi.

Dia mencontohkan Singapura sebagai little dot (titik kecil) Asia, tetapi di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew mampu menjadikan negara tersebut sangat berwibawa.

Sebaliknya, banyak negara besar dengan penduduk banyak, sumber daya besar, tetapi tidak diperhitungkan karena kepemimpinan yang kurang bagus.

"Ini contoh betapa tingginya faktor etik bila kita memang menghendaki satu kepemimpinan yang paripurna dalam suatu negara," ucapnya.

Menurutnya, etik mengatur dan menjadi pengendali para pemimpin di level tertinggi.

Sebaliknya, jika pemimpin tertinggi mengabaikan etik dan hanya fokus pada legalistik, hal ini akan berbahaya, karena dapat membuat aturan yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompok kepentingannya sehingga merugikan pihak lain.

"Dan ini yang sedang terjadi, bukan bukan lagi nabrak hukum, tapi etik pun sudah diabaikan," imbuhnya.

Sudirman menilai, kondisi bernegara saat ini juga cukup berbahaya, karena sudah tidak ada 'rem' atau pengendali lagi.

Dalam waktu 9 tahun atau 10 tahun terakhir, lanjutnya, semua menyaksikan terjadinya pelemahan instrumen kontrol.

"Parlemen tidak berfungsi dengan baik, BPK sangat politis. Bahkan, yang namanya the guardian of constitution, MK (Mahkamah Konstitusi) pun dilumpuhkan begitu rupa dengan berbagai cara."

"KPK sudah lama dipreteli. Jadi, ibaratnya sedang menyetir mobil ngebut luar biasa, tapi seluruh instrumen pengendali, instrumen kontrol dipreteli, dilumpuhkan, speedometer dimatikan, remnya dicopot juga," tuturnya.

Jika tidak hati-hati, menurut Sudirman, kondisi tersebut dapat masuk ke dalam tahap kerusakan yang disebut dengan unfixable atau tidak bisa diperbaiki. Jika pun bisa diperbaiki, maka membutuhkan waktu yang cukup lama.

Hilangnya etika dan moralitas kepemimpinan di negeri bisa mengancam kerusakan demokrasi yang begitu berat dan tidak bisa diperbaiki.

Oleh sebab itu, Sudirman mengimbau seluruh elemen, terutama masyarakat sipil, untuk menyatukan kembali kekuatan bersama guna mengingatkan pemimpin tertinggi di negeri untuk kembali kepada etika dan moralitas dalam penyelenggaraan negara.

Dia khawatir kondisi saat ini akan menjadi siklus 20 tahunan yang membalikkan keadaan atau justru bertambah 20 tahun lagi dalam keadaan seperti itu.

"Nah, hanya sayangnya dalam waktu 20 tahun ini kebijakan-kebijakan negara ini tidak terlalu pro kepada sains."

"Bahkan, dikatakan anti-sains, anti-etik. Maka, waktunya kita menggunakan kembali (sains dan etik), memang akan perlu waktu lama, tapi bila kita tidak melakukannya, kerusakan akan semakin dalam dan sampai pada tahap yang mungkin sulit diperbaiki," bebernya. (*)



Editor: Yaspen Martinus
Penulis: arie prasetyo

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook