PINUSI.COM - Beberapa orang tua kadang membentak untuk mendisiplinkan anak. Padahal, hal tersebut dapat memengaruhi proses tumbuh kembang mereka lho!
Setiap anak terlahir istimewa dengan keunikan dan sifat masing-masing. Anak yang sering dibentak acap kali mengembangkan perilaku agresif dan depresi pada dirinya.
Mengutip Psychology Spot, beberapa psikolog di University of Pittsburgh melakukan sebuah studi pada 976 keluarga dan anak-anak mereka selama 2 tahun, untuk melihat risiko bentakan terhadap perkembangan anak.
BACA LAINNYA: Penyebab Timbul Ketombe dan Cara Mengatasinya
Mereka menemukan, bentakan setiap hari sebagai bagian dari gaya pendidikan keluarga, dapat menyebabkan masalah perilaku saat anak remaja usia 13 tahun, atau munculnya gejala depresi saat anak usia 14 tahun.
Para psikolog juga menemukan, alih-alih mengurangi masalah, anak sering dibentak hingga membuatnya menangis, acapkali mengembangkan sikap memberontak terhadap aturan.
Cara Bentakan Sangat Mempengaruhi Perkembangan Otak Anak
Penelitian yang dilakukan oleh sekelompok psikiater di Harvard Medical School, memperingatkan kekerasan verbal seperti membentak dan menghina, dapat mengubah struktur otak anak-anak secara signifikan dan permanen.
Para peneliti tersebut menganalisis otak dari 51 anak yang memiliki masalah psikologi, dan membandingkannya dengan 97 anak sehat.
Mereka menemukan, pengabaian, hukuman fisik, dan kekerasan verbal mengakibatkan penurunan signifikan dari corpus callosum, sekelompok akson (semacam kabel) yang terdiri dari sel-sel saraf yang menghubungkan dua belahan otak.
BACA LAINNYA: Ini Gejala dan Pertolongan Pertama Jika Digigit Hewan Rabies
Bentakan yang memicu sejumlah masalah psikologis, yang berkembang terkait dengan perilaku terbuka maupun tersembunyi, telah dipelajari oleh banyak peneliti.
Secara garis besar, anak yang sering dibentak dan mendapatkan kekerasan verbal, mengubah neurokognitif dan neuropsikologis pada otaknya.
Perubahan struktural di hippocampus, amigdala, dan materi abu-abu, mengubah perilaku anak dan keadaan neurokimia tubuhnya.
Dalam praktiknya, yang membuat kita sebagai orang tua berteriak bukanlah perilaku anak, melainkan ketidakmampuan kita untuk menghadapi situasi tersebut. (*)
Editor: Yaspen Martinus