search:
|
Opini

[OPINI] Tantangan Moral Ormas Agama di Tengah Tawaran Manis Tambang

Minggu, 09 Jun 2024 19:54 WIB
[OPINI] Tantangan Moral Ormas Agama di Tengah Tawaran Manis Tambang

Ormas keagamaan tengah disorot setelah adanya tawaran mengelola tambang batu bara bekas dari pemerintah. Ilustrasi tambang batu bara. Foto: Antara


Publik diramaikan kabar pembagian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Begitu beragam reaksi muncul dalam rangka merespons kabar ini tentunya.

Oleh: Damurrosysyi Mujahidain*

ADA sebagian pihak yang menyambut positif, ada yang menolak habis-habisan, ada yang memuji, hingga ada yang mencaci. Fenomena ini tentu menjustifikasi betapa reaktifnya masyarakat kita sebagai garda terdepan dalam menjaga kewarasan pikiran bangsa. 

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara, dengan jelas disebutkan pada pasal 83A mengenai prioritas kepada ormas keagamaan untuk mendapatkan IUP Pertambangan. 

Lebih jelas, pasal tersebut menerangkan bahwa wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat dilakukannya penawaran dengan sifat prioritas kepada badan usaha yang dimiliki dan dikelola oleh ormas keagamaan. WIUPK yang dimaksud pun juga spesifik dijelaskan khusus pada wilayah tambang yang sudah pernah beroperasi sebelumnya.  

Reaksi publik yang beragam tersebut juga tak luput dari hadirnya banyak pertanyaan. Mulai dari rasionalisasi pemerintah yang memberi karpet merah pada ormas, hingga kelayakan dan kemampuan ormas keagamaan dalam mengelola tambang.  

Terlebih lagi, proses pengelolaan tambang masuk dalam kategori commercial business yang teramat kompleks. Keresahan tersebut sempat direspons oleh Tenaga Ahli Menteri Investasi Rizal Calvary yang menjelaskan bahwa skema IUP Pertambangan oleh ormas keagamaan dapat dipisah antara pemilik IUP dan pengelola IUP.

Skema ini ia contohkan dengan fenomena ormas keagamaan di Swedia yang memiliki investasi di 400 perusahaan tambang. Hasil dari investasi tersebut dimaksimalkan oleh ormas bersangkutan untuk keperluan dakwah, sosial, hingga penanggulangan bencana. 

Hal serupa juga dicontohkan oleh Church of England Pensions Board (CEPB) yang menginisiasi pengembangan ekonomi melalui sektor tambang. Inisiasi tersebut bertajuk “Investor Mining and Tailings Safety Initiative” dan diluncurkan pasca bencana tailings di

Brumadinho, Brasil tahun 2019.   

Tentu, contoh tersebut bukan serta merta menegaskan kapasitas ormas keagamaan di Indonesia yang juga dianggap pasti capable untuk mengelola bisnis pertambangan. Namun, terlalu tergesa-gesa juga bila langsung mendiskreditkan kapabilitas ormas keagamaan semudah itu apalagi pemahaman tersebut dilandasi oleh sentimen sepihak tanpa pertimbangan rasional.

Hujan kritik semakin deras ketika Nahdlatul Ulama (NU) dikabarkan menjadi ormas keagamaan yang mengajukan penawaran akan IUP Pertambangan dengan rencana WIUPK di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Kabarnya lahan tersebut merupakan lahan eks Bakrie Group.

Wajar saja, pertambangan erat kaitanya dengan masalah-masalah yang hadir di sekitarnya. Mulai dari masalah lingkungan, hingga masalah sosial. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menegaskan bahwa sektor pertambangan meraih posisi ketiga terbanyak akan andilnya pada konflik agraria di Indonesia di tahun 2023. 

Selain itu, 32 konflik di antaranya juga berdampak pada 48.622 keluarga di total 57 desa. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga memaparkan bahwa hingga hari ini terdapat 8.000 izin dengan total konsesi lahan lebih dari 10 juta hektare. Banyaknya aktivitas pertambangan tersebut memicu banyaknya permasalahan baru. Mulai dari rusaknya sumber pangan dan air, hingga masalah-masalah kesehatan yang bahkan berujung pada kematian.

Sudah tentu masyarakat akan membenturkan “mudharat” dari aktivitas pertambangan dengan prinsip dan nilai moral yang pasti dipegang erat oleh berbagai ormas keagamaan. 

Banyak ormas keagamaan yang sejauh ini memiliki banyak histori akan kontribusinya menjaga moral bangsa dengan umur yang tidak muda. 

Mulai dari Muhammadiyah yang dengan semangat pemurnian agamanya menjaga Indonesia dari tahun 1912, kemudian NU yang dengan semangat Ahlus Sunnah wal Jama’ah nya merawat semangat kebangsaan sejak 1926, hingga Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dengan semangat cinta kasihnya berkontribusi untuk ketahanan nasional sejak tahun 1950. Pun juga tak luput pada ormas keagamaan lainnya yang tak kalah kontributif, untuk menjadi tiang moral masyarakat Indonesia sejak lama/. 

Konsistensi moral dari semua ormas keagamaan tersebut seakan-akan sedang diuji terhadap tawaran menggiurkan dari pemerintah akan hak kelola pertambangan. Terlebih lagi bahwa usaha ini menjadi salah satu segmentasi bisnis yang diklaim mampu membawa organisasi kemandirian finansial. 

Lebih jauh, konsensi pertambangan digambarkan sebagai jenis usaha yang kontradiktif dengan gerakan moral yang selalu digaungkan oleh ormas keagamaan. Apalagi, mayoritas ormas keagamaan juga memiliki misi pergerakan di bidang lingkungan yang sudah tentu dengan citacita akan keberlangsungan dan kelestarian alam.

Sebenarnya, keresahan ini pun juga bukan berarti tanpa jawaban. Beberapa pihak menilai bahwa semangat ilahiah dari ormas keagamaan dirasa mampu menjaga amanat Tuhan akan keberlangsungan lingkungan dan ekosistemnya. 

Entah itu akhirnya hanya akan menjadi dalih pembenaran yang dibungkus dengan judul “ecoteologis” untuk memenuhi nafsu mencicipi bisnis tambang, atau bisa juga menjadi pelindung manusia dari ketamakannya ketika mengeksploitasi alam hingga akhirnya mampu meminimalisir mudharat yang hadir ketika bergerak di wilayah bisnis ekstraktif ini.

Mungkin ada baiknya ketika sedikit mengintip model aktivitas pertambangan dari lembaga keagamaan CEPB, sebagai benchmarking pengelolaan tambang yang minim menghasilkan kerusakan lingkungan.

CEPB sendiri melalui “Investor Mining and Tailings Safety Initiative” dan “Mining 2030”-nya secara prinsip mendorong praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial.

Mulai dari pendekatan standar keberlanjutan yang dikembangkan dalam Global Industri Standard on Tailings Management dan bertujuan untuk meningkatkan keselamatan dan mengurangi risiko lingkungan dari aktivitas pertambangan.

CEPB juga menginisiasi lahirnya Global Tailings Portal untuk meningkatkan transparansi data pertambangan. Hal ini memungkinkan adanya pengawasan yang jauh lebih baik dan meningkatkan akuntabilitas perusahaan pertambangan. 

Kemudian, Mining 2030 yang digaungkan pun menjelaskan pentingnya pertambangan mendukung adanya transisi ekonomi rendah karbon. Kerja sama dan komunikasi berbagai pihak yang berkaitan juga tak luput dilakukan. Mulai dari komunitas lokal hingga akademisi untuk memastikan praktik pertambangan tidak hanya ramah lingkungan, namun juga bertanggung jawab secara sosial.

Apa yang dilakukan CEPB tersebut nampaknya dapat menjadi referensi untuk ormas keagamaan yang memutuskan menerima tawaran IUP pertambangan untuk mencontohkan aktivitas pertambangan yang lebih meminimalisir dampak negatif. 

Sehingga, diharapkan juga contoh tersebut dapat diadaptasi oleh swasta yang sedang bergelut di aktivitas serupa. Pun juga apresiasi tinggi tak luput diberikan pada ormas keagamaan yang dengan tegas menolak tawaran pemerintah akan izin kelola tambang, dengan pertimbangan dan prinsip kehati-hatian pada aktivitas eksplorasi hasil bumi. Keputusan yang cukup bijak di tengah arus kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia nirmoral. (*)

Penulis adalah Magister Ilmu Komunikasi Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta




Editor: Fahriadi Nur

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook