search:
|
Aktual

Apa Itu Perpres 7/2021, Ekstrimisme Dan Terorisme?

carrisaeltr/ Senin, 18 Jan 2021 00:08 WIB
Apa Itu Perpres 7/2021, Ekstrimisme Dan Terorisme?

Perpres 7/2021 terbit, upaya mencegah ekstrimisme dan terorisme tumbuh

PINUSI.COM - Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 (Perpres 7/2021) telah Presiden Joko Widodo tanda tangani. Perpres 7/2021 mengatur tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan (RAN PE) yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.

Terbitnya Perpres 7/2021 ini menjadi sinyal bahwa memang persoalan ekstrimisme dan terorisme di Indonesia, sudah di taraf mengkhawatirkan. Hingga membuat pemerintah lebih serius tangani persoalan ini demi bisa menanggulangi tumbuh kembangnya di tanah air.

Pasal 5 dalam Perpres 7/2021, mengatur soal pembentukkan Sekretariat Bersama (sekber) RAN PE. Sekber ini terdiri dari sejumlah Kementerian dan Lembaga (K/L) atau Badan yang membidangi penanggulangan terorisme. Lembaga mana saja itu? Berikut rinciannya:

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 (lihat dokumennya di sini)
  • Kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang politik, hukum, dan keamanan.
  • Kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.
  • Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
  • Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
  • Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.
  • Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.

Ada pun kewenangan yang Sekber RAN PE dapatkan, salah satunya, boleh menambah dan/atau melakukan penyesuaian Aksi PE sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, yang penetapannya melalui peraturan badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.

Kemudian dalam Pasal 8 Perpres 7/2021 menyatakan, dalam melaksanakan RAN PE, Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat. Sementara tugas dari Sekber ini terbagi dalam 3 hal, yakni:

BACA JUGA: KLARIFIKASI JOKOWI TAK MENYURUTKAN GELOMBANG PROTES OMNIBUS LAW
Teror bom Gereja Pantekosta Surabaya, Mei 2018
  • Mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan RAN PE di kementerian/lembaga.
  • Mengompilasi laporan-laporan yang disampaikan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan RAN PE.
  • Merumuskan dan menyiapkan laporan capaian pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan RAN PE.

Dalam upaya mewujudkan pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah program. Salah satunya adalah penambahan materi pencegahan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, di sekolah dan kampus.

Belum adanya materi seperti ini dalam pendidikan formal, adalah alasan mengapa lahir program ini, ada pun penanggung jawab program, pemerintah amanatkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Program lainnya, adalah rancangan aksi koordinasi, kampanye kreatif hingga pelatihan yang menyasar tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, peran media massa, dan influencer di jejaring media sosial, termasuk juga mantan narapidana teroris, agar dalam menyampaikan pesan mencegah ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme langsung mengena pada masyarakat

Khusus untuk pelatihan, penanggung jawab jatuh kepada Polri, dan selama pelatihan mendapat bantuan dari BNPT. Besar harapan pemerintah, ada peran aktif masyarakat terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di tanah air.

Presiden Jokowi tinjau lokasi teror bom Surabaya, Mei 2018

Namun, sampai saat ini bukankah belum ada definisi yang bulat tersepakati bersama, istilah ekstrimisme dan terorisme masih debatable, bahkan pada tingkat global. Lantas standar apa yang pemerintah gunakan, dalam menakar dan memvonis suatu tindakan sebagai prilaku ekstrimis atau pun teroris ?

Karena itu, pendefinisian cukup penting, bukan hanya untuk kepentingan akademik, melainkan juga untuk kepentingan praktis, utamanya terkait bagaimana cara mengatasinya. Memerangi terorisme terorganisasi, misalnya, harus memiliki kejelasan apakah organisasi yang mau pemerintah perangi itu termasuk teroris atau tidak.

BACA JUGA: PEMBUBARAN TAK MAMPU MELUNAKKAN SIFAT KERAS KEPALA FPI

Sebagai sebuah istilah bahasa, ekstrimisme dan terorisme seharusnya dalam memahaminya sangat lah berhati-hati, bukan malah menjadikannya sebagai instrumen propaganda. Sebab, tanpa ada kejelasan definisi, upaya memeranginya malah bisa berdampak kontra produktif

Maka, penting untuk memberikan definisi ekstrimisme dan terorisme yang jelas. Dengan kejelasan definisi ini orang akan mengerti makna sebenarnya istilah ekstrimisme dan terorisme, sehingga kemudian mampu merancang hukuman yang tepat bagi para pelakunya.

Berkenaan dengan itu, ekstrimisme dan terorisme memiliki sejarah yang cukup panjang. Mengutip Jurnal Studi Masyarakat Islam, Volume 5 Nomor 2 Desember 2012, Pascasarjana UMM, praktik-praktik terorisme sudah lama terjadi sejak periode tahun 66 - 67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrim Yahudi melakukan aksi teror, termasuk di dalamnya pembunuhan, terhadap bangsa Romawi yang melakukan pendudukan di wilayahnya.

Sejak saat itu, aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia. Kemudian, istilah teror dan terorisme telah menjelma menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan pada awal 2000-an bertransformasi sebagai bentuk kekerasan agama.

Terdapat empat kelompok yang berbeda pandangan mengenai terorisme, yakni akademisi, pemerintah (penguasa), masyarakat umum, dan kaum teroris serta simpatisannya. Dari empat kelompok itu, kaum akademisi lebih netral, yang mendefinisikannya sebagai sebuah metode yang lahir dari semangat, keinginan melakukan aksi kekerasan secara berulang, oleh individu, kelompok, atau penguasa bawah tanah (clandestine), karena alasan idiosinkratis, kriminal, atau politik.

Sedangkan definisi yang kalangan penguasa gunakan cenderung memaknai istilah terorisme lebih ekstrim, karena mereka secara aktif berkewajiban memberantas aktivitas terorisme, dan bahkan menjadi korban dari terorisme. Di tahun 1974, pemerintah Inggris adalah yang pertama merumuskan definisi resmi yang membedakan antara tindakan teroris dan criminal, yang mendefinisikannya sebagai penggunaan kekerasan untuk tujuan politik, dan termasuk penggunaan kekerasan untuk menjadikan masyarakat dalam ketakutan.

BACA JUGA: VAKSIN MULAI DIDISTRIBUSI, INDONESIA PUNYA ASA MENGAKHIRI PANDEMI

Lalu di tahun 1980, CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik yang pelakunya bisa individu atau kelompok, atas nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-takuti masyarakat yang lebih luas dari pada korban langsung teroris.

18 warga Palestina ditangkap militer Israel, dituduh teroris.

Terlepas dari perbedaan definisi, persoalan tarik menarik pelabelan terorisme, pada umumnya, yang memenangkannya adalah mereka yang berkuasa atas rakyat dan mereka yang kuat atas yang lemah. Dengan pemberian label terorisme kepada kelompok kedua ini, maka tindakan apapun yang kelompok pertama lakukan akan terlihat sah dan benar. Gambaran ini terlihat pada hubungan antara penguasa Israel dan rakyat Palestina sekarang ini.

Jamhari Makruf, Guru Besar Antropologi UIN Jakarta lewat tulisannya bertajuk Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesaat? memandang, kelompok ekstrimis lahir dari ketidak-puasan politik dan keterpinggiran politik.

Menurutnya, agama bukan menjadi faktor pertama ekstrimisme. Meskipun pada tahap selanjutnya agama merupakan faktor utama untuk melegitimasi tindakan mereka. Dalam konteks di tanah air Jamhari mencotohkan, bisa masyarakat lihat dari kemunculan FPI, MMI dan Laskar Jihad. Kelahiran kelompok itu tak lepas dari latar politik, namun kemudian mereka menjadikan agama sebagai tameng.

Berawal hoaks senjata pemusnah massal, Amerika Serikat invasi Irak

Selanjutnya, faktor lain yang menunjang munculnya kelompok ekstrimis adalah adanya solidaritas sesama umat Islam. Kelompok itu merasa tindakan mereka benar bahkan berpahala dan akan dapat ganjaran surga, karena merupakan balasan atas tindakan sewenang-wenang Barat terhadap umat Islam, utamanya di Timur Tengah.

BACA JUGA: RESHUFFLE KABINET DIPUJI, KEPUTUSAN JOKOWI TUNJUK BUDI SUDAH TEPAT

Maka, bukan suatu hal yang aneh apabila setelah para ekstrimis beraksi--melakukan pemboman misalnya--muncul narasi dari kalangan mereka yang menyinggung bahwa jumlah korban yang jatuh belum setimpal dengan banyaknya saudara-saudara seiman mereka yang tewas di Timur Tengah akibat agresi Barat.

Dia menegaskan, bahwa kelompok ekstrim sejatinya hanya kelompok minor, anggotanya tidak banyak. Kelompok ini seolah-olah terlihat besar dan berpengaruh, lantaran militansi dan gencarnya aksi yang mereka jalankan. Menurut Jamhari, sedikit tapi galak dan bersuara lantang tentu lebih mencuri perhatian ketimbang yang banyak tapi berbisik dan santun.

Meski begitu, Jamhari mengingatkan, kelompok ekstrimis meskipun beranggota sedikit tapi menguasai teknologi atau internet. Hal itu membuat mereka bisa dengan mudah menyebar luaskan gagasan-gagasan mereka. Termasuk rekrutmen anggota mereka lakukan secara online.

Di Indonesia kelompok ini senang menjual kalimat amar ma’ruf nahi munkar, dengan dalih itu seolah-olah mereka berhak menjadi penegak hukum, bisa membubarkan kelompok lain yang tidak sejalan. Jualan berikutnya adalah penegakan syariat Islam.

Sebelum dibubarkan, FPI dikenal sebagai ormas keagamaan yang sering bertindak anarkis

Kelompok ekstrimis selalu mengklaim ada yang salah dengan demokrasi, Pancasila dan UUD sehingga mengamalkan Islam secara menyeluruh adalah suatu keharusan, termasuk dalam menjalankan pemerintahan. Semangat menegakkan syariat Islam menjadi bahan bakar tak habis-habis dalam mereka menjalankan aksi. Terkait itu, Jamhari bilang, langkah ngawur tersebut hanyalah strategi agar masyarakat mau dengar suara mereka.

Meski akan banyak orang yang membenci dan mengutuk cara-cara seperti itu, tak menutup kemungkinan beberapa orang akan bersimpati dan mendukung, karena muncul anggapan sebagai perjuangan menegakkan agama Allah.

BACA JUGA: 5 TAHUN MANDEK, SAMPAI KAPAN DPR DEBAT KUSIR RUU PKS?

Sisi lain, Jamhari mengatakan bahwa gerakan ektrimis sejatinya juga bisa melihatnya dari sudut pandang yang lain. Artinya, juga dapat memandangnya sebagai bagian dari proses negosiasi sosial dalam merumuskan tatanan sosial yang baru.

Sebelum dibubarkan, FPI dikenal sebagai ormas keagamaan yang sering bertindak anarkis

Johan Avie, aktivis Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Surabaya, menyampaikan hal serupa. Dalam modul penelitian bertajuk Meredam Teror, Johan memandang, ekstrimisme dan terorisme tidak terjadi secara tiba-tiba. Tindakan kekerasan dan terorisme didahului oleh emosi kebencian yang tertanam di alam bawah sadar manusia. Hasrat seseorang untuk melakukan kekerasan bisa jadi hadir dalam ketidaksadarannya.

Menurut dia, fakta menunjukkan, bahwa fenomena kekerasan berjalan beriringan dengan ceramah-ceramah agama yang mengajarkan kebencian. Isi ceramah yang mengajarkan kebencian itu disebarkan dari satu rumah ibadah, ke rumah ibadah lainnya.

Tak urung, isi ceramah tersebut didengar oleh jutaan manusia. Mereka terpengaruh, terhasut, lalu dengan mudahnya menjadi benci terhadap kelompok lain yang berbeda. Masyarakat yang semula beribadah untuk mendapatkan keteduhan, sepulangnya malah justru dirundung emosi kebencian. Dalam situasi seperti itu, kebencian berubah menjadi kekerasan atas nama agama.



Penulis: carrisaeltr

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook