PINUSI.COM - Pada 11 Februari 2024, masyarakat Indonesia digemparkan oleh tayangan film Dirty Vote di YouTube.
Film ini berisi ulasan tiga ahli hukum tata negara soal Pemilu 2024.
Tayangan Dirty Vote ini seperti menggambarkan 'tsunami kontroversial.'
Film dokumenter ini menjadi sebuah momentum di hari tenang kampanye.
Film ini dipublikasikan pada 11 Februari, bertepatan pada hari pertama masa tenang pemilu dan disiarkan pada pukul 11.00 WIB.
Pantauan PINUSI.COM, hingga 12 Februari 2024, video tersebut sudah dilihat oleh 3 juta lebih viewers, dengan mendapat 259 ribu likes.
Ada sesi di mana dipaparkan oleh salah satu ahli, soal apakah presiden boleh berkampanye?
"Kalau pertanyaannya presiden apakah boleh berkampanye? Kita tentu saja harus berpegang pada Undang-undang Pemilu, Undang-undang 7 Tahun 2017 tentang presiden boleh berkampanye."
"Tapi harus membaca undang-undang dengan utuh dan lengkap, tidak hanya bisa melihat satu ayat saja, satu pasal saja menyatakan kebolehan ini."
"Kita harus lihat bahwa kebolehan berkampanye ini sepanjang sang presiden dikutsertakan seperti pada pasal yang tertuang di pasal 281."
"Jadi tidak boleh menjadi pelaku pelaksana kampanye sendiri, kecuali jika dia petahana yang mencalokan lagi, ini jelas ada di pasal 299 ayai 1."
"Dan ini juga diatur di konstitusi kita, kalau presiden mengatur dan boleh dua kali menjalankan presidennya."
"Dan dia bisa saja melaksanakan kampanye sebagai tim kampanye, dan ini ada di ayat 3 dari pasal 299 itu, tapi lagi-lagi syaratnya juga ketat, tidak cuma kebolehan belaka," tutur Bivitri Susanti, salah satu ahli tata negara di film Dirty Vote.
Ia memaparkan syarat presiden boleh berkampanye adalah:
1. Mengajukan cuti;
2. Tidak pakai fasilitas negara (kecuali pengamanan);
3. Memperhatikan tugas negara dan pemerintahan; dan
4. Pejabat negara dilarang melakukan tindakan yang merugikan salah satu paslon.
Ada 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film Dirty Vote, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
So, bagaimana tanggapan Pinusian soal ini? (*)