PINUSI.COM - Musisi sekaligus anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Gerindra, Ahmad Dhani, menanggapi gugatan terhadap Undang-Undang Hak Cipta yang diajukan oleh 29 musisi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Dhani, langkah tersebut terkesan kekanak-kanakan karena berusaha mengubah regulasi yang telah lama berlaku.
Gugatan UU Hak Cipta Dinilai Tidak Masuk Akal
Dalam keterangannya pada Rabu (12/3/2025), Dhani menyebut bahwa para musisi yang mengajukan gugatan ingin mendapatkan fatwa dari MK agar penyanyi tidak perlu meminta izin kepada pencipta lagu saat membawakan lagu dalam pertunjukan. Selain itu, mereka juga berharap agar penyanyi tidak diwajibkan membayar royalti.
“Teman-teman penyanyi ingin mendapatkan keputusan bahwa mereka tidak perlu izin pencipta saat menyanyikan lagu dalam pertunjukan musik, serta tidak harus membayar royalti. Menurut saya, ini kekanak-kanakan,” ujar Dhani.
Ia menegaskan bahwa aturan mengenai pembayaran royalti oleh penyanyi telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Aturan ini jelas mengamanatkan bahwa pelaku pertunjukan harus meminta izin kepada pencipta lagu serta membayar royalti atas penggunaan karya mereka.
Contoh Kasus Pelanggaran Hak Cipta
Dhani juga menyinggung kasus yang melibatkan Agnez Mo dan Ari Bias sebagai contoh nyata bahwa aturan terkait hak cipta sudah diterapkan dengan tegas di Indonesia. Dalam kasus tersebut, pengadilan memutuskan bahwa Agnez Mo bersalah karena menyanyikan lagu Bilang Saja tanpa izin penciptanya, Ari Bias. Akibatnya, Agnez Mo diwajibkan membayar denda sebesar Rp1,5 miliar.
“Hakim sudah memutus bahwa Agnez Mo bersalah karena tidak mendapatkan izin dan tidak membayar royalti atas lagu yang dibawakannya,” tegas Dhani.
29 Musisi Ajukan Gugatan ke MK
Sebanyak 29 musisi top Indonesia telah mengajukan gugatan ke MK terkait sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta. Beberapa nama terkenal yang menjadi pemohon dalam gugatan ini antara lain Armand Maulana, Ariel NOAH, Raisa, BCL, Titi DJ, Vidi Aldiano, Afgan, Rossa, dan Ghea Indrawari.
Mereka menilai bahwa beberapa pasal dalam UU Hak Cipta menghambat kebebasan para musisi dalam melakukan pertunjukan serta menimbulkan ketidakpastian dalam sistem pembayaran royalti.
Pasal-Pasal yang Digugat
Dalam permohonannya, para musisi meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Hak Cipta, di antaranya:
Pasal 9 ayat (3): Mengusulkan agar penyanyi tetap dapat membawakan lagu tanpa izin pencipta selama mereka tetap membayar royalti.
Pasal 23 ayat (5): Meminta kejelasan bahwa pihak yang wajib membayar royalti adalah penyelenggara acara, bukan penyanyi.
Pasal 81: Mengusulkan agar penggunaan lagu dalam pertunjukan tidak memerlukan lisensi dari pencipta, selama royalti tetap dibayarkan.
Pasal 87: Meminta agar pencipta lagu tidak diperbolehkan menarik royalti secara nonkolektif atau diskriminatif.
Pasal 113 ayat (2): Menginginkan ketentuan tentang sanksi pidana bagi pelanggar hak cipta dihapus atau dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
Dampak Gugatan Ini bagi Industri Musik
Gugatan ini memicu perdebatan di kalangan musisi dan praktisi hukum. Sebagian pihak mendukung revisi aturan agar lebih fleksibel bagi penyanyi, sementara yang lain berpendapat bahwa perlindungan hak cipta justru harus diperkuat agar pencipta lagu mendapatkan hak mereka secara adil.
Jika MK mengabulkan gugatan ini, maka industri musik Indonesia bisa mengalami perubahan besar dalam tata kelola royalti dan hak cipta. Namun, jika ditolak, maka musisi tetap harus tunduk pada aturan yang sudah ada.
Ahmad Dhani secara tegas menolak gugatan para musisi terhadap UU Hak Cipta dan menilai bahwa aturan saat ini sudah cukup adil bagi semua pihak. Ia menekankan bahwa setiap penyanyi harus tetap meminta izin serta membayar royalti kepada pencipta lagu sebagai bentuk penghargaan terhadap hak intelektual.
Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan ini akan menjadi momen penting bagi industri musik Tanah Air, menentukan arah regulasi hak cipta dan perlindungan hak para pencipta lagu ke depan.