PINUSI.COM - Siapa yang tidak kenal Iwan Fals, pria kelahiran Jakarta yang memiliki karya lagu lebih dari seratus ini dinobatkan Asian Heroes oleh Majalah Time. Tak berlebihan jika Iwan Fals disebut sebagai suara hati masyarakat karena karyanya yang bervariasi, sarat akan sarkas, membuatnya jadi idola dari masa ke masa.
Melalui lagu-lagunya, Iwan Fals "memotret" fenomena yang ia temukan di dalam sosial kehidupan Indonesia. DIa sendiri merupakan sosok pria yang cenderung cengeng, namun karena kelembutan hatinya itulah membawanya meluapkan emosi menjadi sebuah karya.
Luapan emosi yang Iwan Fals letupkan di atas panggung dengan syair-syair sarkas merupakan bentuk kekecewaan dan emosi atas pemerintahan saat diktator berkuasa dan sarat akan Korupsi. Kolusi dan Nepotisme
Beberapa lagu Kritik atas perilaku sekelompok orang seperti Wakil Rakyat, Bento, Bongkar, Manusia Setengah Dewa, Galang Rambu Anarki dan Sumbang
Tak hanya lagu sarat kritik akan rezim, Iwan Fals kerap membuat lagu empati kepada kelompok yang termarjinalisasi seperti Seberang Istana, Lonteku, dan Gali Gong Li.
Namun, ada salah satu lagu ia buat atas kekaguman kepada seseorang yang pemberani, tegas berwibawa namun baik hati, yakni "Willy"
Lagu Willy diangkat dari kekagumannya terhadap Willibrordus Surendra Broto Rendra atau biasa disapa dengan W.S Rendra. Bukan hanya kagum, Iwan Fals saat itu rindu kepada Rendra yang menghilang karena sedang menghindari kejaran pemerintah era Soeharto. hingga terciptalah lagu "Willy" Ini.
W.S Rendra merupakan penyair asal Solo yang kerap menampilkan karya-karya fenomenal dalam ekspresi kritik terhadap pemerintah.
Rendra sendiri mulai tertarik membahas persoalan sosial karena melihat fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Pertama kalinya pada tahun 1952, puisi puisi Rendra dimuat di sebuah majalah yang bernama majalah Siasat.
Seniman yang dijuluki "Si Burung Merak" ini besar di masa Orde Baru sehingga tulisan tulisan yang ia buat memekakan telinga penguasa, Rendra kerap kali berurusan dengan pemerintah karena kritiknya.
Puisi-puisi karya Rendra mengarah pada kritikan realitas kemanusiaan yang sedikit, fenomena soal orang kecil yang tertindas, kemiskinan, termarginalisasi, dan kekejaman politik saat itu
Rendra hatinya bercampur aduk apabila korupsi, pemeras, licik, dan pembohong menjadi pemimpin. Namun, puisi-puisi tersebut ia tuangkan dengan gaya bahasa sarkas dan kritikan merupakan bentuk kepedulian Rendra terhadap tanah airnya.
Lewat karyanya, dia tidak hanya menentang otoritarianisme pemerintah yang ada melainkan kritik terhadap pendidikan, terlihat dalam karyanya yang berjudul "Sajak Anak Muda".
Dalam puisinya ia geram dan menolak sistem pendidikan kala itu, di mana pendidikan bukan penyeragaman dan indoktrinasi.
Para pelajar dinilai seperti robot karena tidak ada kreativitas yang tumbuh dimana mereka kerap kali harus menghafal dan tidak kritis. Pelajar hanya dibiasakan menghafal materi dan rumus-rumus asing yang tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah kehidupan di lingkungannya.
Dampaknya pelajar menjadi tidak peka, penakut, dan gagap pada suatu masalah dilingkunganya. Generasi yang dihasilkan oleh sistem pendidikan seperti ini menurut W.S. Rendra tidak akan berkontribusi dalam pembangunan peradaban yang lebih maju. (AF)