PINUSI.COM - Di Indonesia, suasana pemilu serupa pesta, apalagi di mata para pemilih muda, yang baru akan mencoblos untuk pertama kalinya.
Ditambah lagi, di hari pemilu banyak brand yang memberi diskon besar-besaran, mulai dari gerai makanan dan minuman, retail fashion dan aksesori, tempat wisata, supermarket, hingga bioskop, dan tempat karaoke.
Tahun ini bahkan akan lebih seru lagi, karena bertepatan dengan Hari Valentine.
Syarat utama untuk dapat diskon biasanya hanya menunjukkan jari bertinta, pertanda sudah mencoblos.
Namun, masalahnya, apakah para pemilih ini sudah mencoblos dengan bijak dan cerdas?
Jangan-jangan semua kandidat dicoblos, atau hanya asal mencoblos saja, atau tidak ada yang dicoblos sama sekali.
Sejak dua tahun terakhir, Kawula17, sebuah inisiatif yang mengajak anak muda berpartisipasi aktif dalam pemilu, mengadakan survei secara reguler, dan kerap berdiskusi atau mengobrol langsung seputar politik dengan orang muda.
Mereka menemukan banyak orang muda yang tidak terlalu paham soal politik, termasuk tentang kenapa mereka harus ikut pemilu.
Namun, di sisi lain, ada sejumlah orang muda yang paham politik tapi memilih golput.
“Kami heran, kenapa kok golput? Soalnya, mereka bilang, program yang diusung sama saja. Kami pikir, ah, tidak mungkin, pasti ada bedanya,” tegas Dian Irawati, co-founder Kawula17.id.
Kawula17 yang konsisten memberikan edukasi tentang politik kepada orang muda, berusaha agar mereka tidak golput, hingga kemudian meluncurkan Voting Advice Application (VAA) untuk membantu pemilih menentukan pilihan partai dan presiden.
Seperti apa aplikasi tersebut dan sejauh mana hasilnya valid?
Remaja tak paham istilah politik
Kawula17 melakukan survei nasional setiap 3 bulan, yang diikuti 400 hingga 600 responden berusia 17 hingga 44 tahun.
Pada kuartal ketiga 2023, 80% responden menyatakan akan ikut mencoblos di Pemilu 2024, sedangkan sebagian kecil masih bingung akan mencoblos atau tidak, dan sebagian sangat kecil sudah yakin tidak akan mencoblos.
Di sisi lain, banyak remaja usia 17 tahun yang tidak memahami istilah seputar politik, misalnya oposisi, progresif, dan konservatif.
Dian menyebutkan, ketika usia 16 tahun, seharusnya remaja sudah mendapatkan civic education (pendidikan kewarganegaraan).
Kenyataannya, ketika mengunjungi sekolah, ia masih sering mendapat pertanyaan yang cukup mencengangkan.
Sementara, bicara tentang oposisi, ia bercerita, di beberapa pemilu terakhir, calon presiden lebih menciptakan lingkungan politik tanpa oposisi. Mereka lebih bersifat merangkul dan berkoalisi.
Kenapa susah pilih partai?
Tingginya angka kesediaan untuk berpartisipasi dalam pemilu bisa diartikan sebagai ketertarikan orang muda yang terbilang tinggi terhadap politik.
“Tapi, berdasarkan survei satu tahun terakhir, ketika ditanya apakah sudah punya pilihan atau belum, orang muda di bawah usia 35 tahun selalu menjadi kelompok usia yang paling banyak belum punya pilihan,” ulas Oktafia Kusuma, Research Fellow Kawula17.
Memang bukan hal yang mudah bagi orang muda untuk pilih partai. Salah satunya, karena gempuran informasi dan kampanye yang malah bikin bingung. Itulah kenapa Kawula17 kemudian mengadopsi aplikasi VAA.
Aplikasi tersebut membantu memberi pemahaman tentang posisi suatu partai tentang berbagai isu, termasuk sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan.
Lewat gamification berupa kuis, orang muda diharapkan bisa menentukan pilihan partai yang paling sesuai dengan preferensi dirinya.
Pilih presiden lewat kuis
Sukses dengan VAA Partai Politik, di akhir minggu ketiga Januari 2024, Kawula17 meluncurkan VAA Cawapres.
Untuk VAA ini, pemilih disarankan untuk kenali programnya, baru tentukan presidennya.
Dalam hitungan 72 jam, sudah 463.298 rekomendasi diberikan kepada pemilih yang ikut kuis.
“Sambutannya sangat baik. Para pemilih yang ikut kuis kemudian juga dengan bangga memamerkan hasil kuisnya di media sosial."
"Sejumlah influencer menghubungi kami dan meminta link untuk mereka share dengan sukarela, karena mereka rupanya melihat bahwa tool ini berguna bagi orang muda,” ungkap Dian.
Yang menarik, survei mengungkapkan, mayoritas pemilih akan memilih presiden dan wakil presiden berdasarkan ide atau gagasan yang diperjuangkan. Mereka juga melihat pengalaman kandidat dan jabatan sebelumnya.
Mereka tidak lagi mempertimbangkan identitas, misalnya suku atau agama, dan penampilan fisik.
Hal ini sejalan dengan temuan dari partner Kawula17, yaitu Newbie Matters, yang menyebutkan Gen Z merupakan pemilih rasional.
Kuisnya berisi 15 pertanyaan yang disarikan dari visi-misi masing-masing pasangan presiden dan calon presiden.
Sejumlah pertanyaan terbilang sulit, sehingga jawabannya perlu dipikirkan dengan matang dan waktu sedikit lebih lama.
Tapi, hanya dalam waktu sekitar 6 menit, umumnya pemilih akan mendapatkan rekomendasi tentang kandidat yang programnya dinilai paling selaras dengan keinginan pemilih.
Jeli temukan perbedaan
Kuis untuk memilih partai dan presiden perlu dibuat sedemikian rupa agar mudah dimengerti.
Karena itu, pertanyaan kuis harus dibuat dengan kata-kata dan kalimat yang sederhana.
Dian dan Okta bercerita, membuat VAA Partai Politik jauh lebih menantang daripada VAA Cawapres.
Mereka harus memilah isu yang relevan dengan orang muda. Sebab, isu yang dibicarakan di DPR sangat banyak.
Untuk VAA Ca(wa)pres, Kawula17 mencermati perbedaan program di antara ketiga pasang kandidat. Karena, programnya sangat mirip.
Saat dipetakan seperti itu, orang jadi tersadar, sebetulnya yang ditawarkan oleh ketiga kandidat tidak berbeda jauh.
Maka, perlu dicari pembeda yang signifikan untuk membantu orang menentukan pilihan.
Bukan aplikasi baru
Sebenarnya VAA bukan hal baru di dunia politik. Sejumlah negara di Eropa dan Amerika sudah menggunakannya sejak awal 2000-an.
Di Jerman ada Wahl-0-Mat sejak 2002, di Swiss ada SmartVote sejak 2003, di Belanda ada StemWijzer sejak 1989, yang dinilai paling sukses dengan memberi jutaan rekomendasi.
Menariknya, tidak hanya negara Barat yang menggunakan aplikasi ini. Zimbabwe pun merancang VAA yang sesuai dengan lingkungan politik negaranya. (*)