UU ITE berpotensi bongkar pasang pasal lagi. Kapolri ingin bentuk polisi virtual, untuk berpatroli di jagat maya
PINUSI.COM – UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, masih jadi polemik. Tetap dianggap memiliki kecenderungan untuk membatasi kebebasan berpendapat di jagat maya. Beberapa pasal yang terkandung di dalamnya, masih disebut pasal karet. Dan lagi-lagi pasal 27 yang jadi persoalan.
Sejatinya, regulasi yang awalnya dikenal sebagai Undang-Undang No.11 Tahun 2008 ini sempat direvisi DPR atas pengajuan Presiden Joko Widodo, pada Desember 2015 silam. Kemudian hasil revisi dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Menteri Komunikasi dan Informatika kala itu, Rudiantara mengklaim tidak akan ada lagi kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat, setelah revisi UU ITE ini. Tapi kenyatannya tidak demikian, menurut temuan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet).
Dalam catatan lembaga pemerhati keamanan internet tersebut, setidaknya ada 34 kasus yang terjadi menggunakan UU ITE, sepanjang tahun 2020. Direktur Eksekutif Safenet, Damar Juniarto di jejaring Twitter pun menyuarakan permasalahan ini.
Menurutnya, hampir sebanyak 10 pasal dalam UU ITE terkategori pasal karet. Seakan jadi persoalan abadi, pasal 27 termasuk di dalamnya. Salah satu sorotan dia, adalah pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Damar berpandangan, pasal ini bisa berpeluang untuk mengekang warga, aktivis dan jurnalis dalam menyampaikan kritik lewat jejaring internet.
“Bunyi pasal tersebut adalah: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat teraksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik," kicaunya.
Damar pun merincikan pasal-pasal mana saja yang bermasalah karena rumusan tidak ketat alias karet dan juga multi tafsir, berikut daftarnya:
- Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
- Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasah karena bisa untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
- pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi, dianggap bisa untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.
- pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
- Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat untuk mempidana orang yang ingin lapor ke polisi.
- Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat memperberat hukuman pidana defamasi.
- Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
- Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih utama dari putusan pengadilan.
- Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, merespon kicauan Damar. Mahfud mengatakan, UU ITE lahir atas usulan dan semangat dari masyarakat. Namun jika regulasi ini tidak baik, Mahfud menegaskan pemerintah bersikap terbuka untuk melakukan revisi kembali.
“Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif merevisi UU ITE. Dulu pada 2007/2008 banyak yang usul dengan penuh semangat agar menghadirkan UU ITE. Jika sekarang UU tersebut tidak baik dan memuat pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya lah, ini kan demokrasi,” cuit Mahfud.
Senada juga yang Presiden Joko Widodo sampaikan, dalam rapat terbatas pada Senin (15/2/2021) kemarin. Jokowi mengatakan dengan senang hati akan kembali meminta DPR merevisi UU ITE, apa bila implementasinya tidak adil.
Menurut Jokowi tidak menutup kemungkinan, pasal-pasal dalam UU ITE adalah hulu dari persoalan hukum. "Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, ada potensi mudah dalam menginterpretasikannya secara sepihak," kata Jokowi sebagaimana menukil Antaranews, Selasa (16/2/2021).
Mengenai kriminalisasi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo angkat bicara. Dia pun meminta semacam petunjuk untuk jadi pegangan para penyidik saat menangani kasus terkait UU ITE. Hal itu dia sampaikan ketika menggelar Rapim bersama TNI di Mabes Polri, Selasa (16/2/2021) kemarin.
"Menindaklanjuti terkait dengan arahan Bapak Presiden, khususnya terkait dengan pasal-pasal karet yang ada di UU ITE yang tadi sudah saya sampaikan. Tolong buatkan semacam STR atau petunjuk untuk kemudian ini bisa jadi pegangan bagi para penyidik pada saat menerima laporan," ucap dia.
Sigit menuturkan, kasus terkait UU ITE, dasarnya adalah delik aduan. Dia menyarankan, setiap laporan yang bersifat delik aduan, sebaiknya yang melaporkan adalah si korban langsung jangan lagi ada perwakilan. Apa lagi jika tak berpotensi menimbulkan konflik, sambung Sigit, maka cukup proses mediasi saja.
“Supaya kemudian tidak asal lapor dan kemudian nanti kita yang kerepotan. Jadi hal-hal seperti ini ke depan kita perbaiki, apalagi memang seperti itu. Dan bila perlu kalau memang tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal, ya tidak perlu penahanan. Jadi proses mediasi, mediasi nggak bisa, nggak usah ada penahanan," tuturnya.
Sigit juga menyinggung kasus dugaan rasisme terhadap eks Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai. Kasus seperti itu, menurut Sigit, perlu sampai tuntas. "Tapi untuk hal yang lain yang sifatnya hanya pencemaran nama baik, hoax, yang masih bisa kita berikan edukasi, laksanakan edukasi dengan baik," sambungnya.
Terkait itu juga, Sigit pun memerintahkan pembentukan 'virtual police' yang tugasnya menegur para pelanggar UU ITE. Bahkan, Sigit juga ingin melibatkan influencer yang memiliki followers banyak untuk mengedukasi penggunaan UU ITE. Sehingga proses edukasinya juga terasa nyaman, tidak menakut-nakuti.