search:
|
PinNews

Rezim Jokowi Ingin Hidupkan 'Dwifungsi ABRI', Imparsial: Semakin Membuktikan Pemerintah Saat Ini Bertolak Belakang dengan Semangat Reformasi

Gabriella Hanyokrokusumo/ Sabtu, 16 Mar 2024 23:00 WIB
Rezim Jokowi Ingin Hidupkan

LSM Imparsial menilai wacana penempatan TNI-Polri dalam jabatan sipil adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru. Foto: PINUSI.COM/Gabriella


PINUSI.COM - Pemerintah berencana mengembalikan 'Dwifungsi ABRI' dalam waktu dekat, dengan mengesahkan peraturan pemerintah (PP) tentang manajemen aparatur sipil negara (ASN).

PP tersebut merupakan aturan pelaksana dari revisi UU ASN pada tahun lalu, dan telah disahkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas, dengan mengatakan aturan ini juga membahas jabatan ASN yang bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri, serta sebaliknya.

Imparsial, LSM yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, angkat bicara mengenai hal tersebut.

"Kami memandang bahwa jika pengaturan teknis tentang penempatan TNI dan Polri aktif benar-benar diakomodir dalam PP tersebut, maka jelas hal itu akan mengancam demokrasi, karena melegalisasi kembalinya praktik 'Dwi Fungsi ABRI' seperti pada masa otoritarian Orde Baru."

"TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menghadapi ancaman perang, sedangkan Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) dan penegakan hukum."

"Kedua lembaga itu sepatutnya dan seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan-jabatan sipil, karena itu bukan fungsi dan kompetensinya."

"Dengan demikian penempatan TNI dan Polri di jabatan sipil merupakan sesuatu yang menyalahi jati diri mereka," ujar Direktur Imparsial Gufron Mabruri di Jakarta, Jumat (15/3/2024).

Menurut Gufron, penting untuk diingat, penghapusan Dwifungsi ABRI (TNI dan Polri) merupakan bagian dari agenda demokratisasi tahun 1998.

Dan penghapusan tersebut tidak hanya sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran ABRI yang lebih sebagai alat kekuasaan di masa otoritarian, tapi juga untuk mendorong terwujudnya TNI yang profesional, dan secara lebih luas lagi merupakan bagian dari agenda pembangunan demokrasi di Indonesia.

Salah satu praktik Dwifungsi ABRI yang dihapuskan adalah penempatan anggota TNI dan Polri aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara, maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, Walikota).

Kendati demikian, terdapat pengecualian, yakni militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung (Pasal 47 ayat 2 UU TNI).

"Kami memandang salah satu amanat reformasi adalah mencabut peran TNI dan Polri dalam urusan politik, dan mengembalikan fungsi mereka menjadi militer dan aparat penegak hukum yang profesional."

"Dengan rencana penyusunan PP itu, maka hal tersebut semakin membuktikan kebijakan pemerintah saat ini sudah melenceng jauh dan telah bertolak belakang dengan semangat reformasi."

"Penting untuk dicatat, kehidupan demokrasi yang dicapai dan dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi pada tahun 1998."

"Oleh karena itu, kalangan elite politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini."

"Dan bukan sebaliknya, malah mengabaikan sejarah dan pelan-pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru," tutur Gufron.

Imparsial menilai, dalam upaya menjaga dan mendorong pemajuan sistem dan praktik demokrasi di Indonesia, peran sosial politik ABRI (TNI dan Polri) yang telah dihapuskan pada tahun-tahun transisi politik 1998, menjadi penting untuk dijaga dan dipertahankan.

Karena pada konteks ini, penting bagi elite politik untuk tidak membuka ruang dihidupkannya kembali praktik politik era otoritarian tersebut, karena sekali ruang tersebut dibuka dan apalagi dilegalisasi melalui UU, maka sama saja mengembalikan kembali peran TNI-Polri seperti di masa otoritarianisme Orde Baru.  

"Lebih dari itu, kami meragukan nilai wacana perwira militer dan kepolisian aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian dan lembaga bertujuan untuk pembangunan dan penataan TNI dan Polri."

"Jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira non job di kedua institusi tersebut, upaya lain untuk menyelesaikan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lain, seperti melalui perbaikan proses rekrutmen anggota, pendidikan, kenaikan karier, dan kepangkatan."

"Berbagai agenda tersebut jauh lebih penting untuk dilakukan, bukan membuka ruang penempatan mereka pada jabatan-jabatan sipil yang hanya akan memunculkan masalah baru di kemudian hari," kritik Gufron. (*)



Editor: Yaspen Martinus
Penulis: Gabriella Hanyokrokusumo

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook