search:
|
PinNews

Membedah Bahaya Obral Tambang ke Ormas Agama

Kamis, 13 Jun 2024 18:40 WIB
Membedah Bahaya Obral Tambang ke Ormas Agama

Ilustrasi pertambangan batu bara. Foto: Stockbit


PINUSI.COM, JAKARTA - Izin usaha pertambangan khusus (IUPK) ke ormas agama menjadi momok baru. Pemerintah dianggap lebih mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan rakyat.   

Itulah yang dikupas oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Walhi menggelar diskusi "PP Nomor 25 Tahun 2024, Apa Bahaya Sesungguhnya Dari Isu Tambang Untuk Ormas", Kamis siang (13/6).

Kisworo Dwi Cahyono Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Fathur Roziqin Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur dan Fanny Tri Jambore Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional jadi pembicara. Dipandu Uli Arta Siagian Manajer Kampanye Hutan Kebun Walhi Nasional.

Cak Kis, sapaan Kisworo, menilai terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara hanya menjadi alat transaksi kekuasaan. Termasuk upaya obral sumber daya alam terutama pertambangan batu bara.

"Padahal dari dulu kami sering mengadukan masalah kejahatan lingkungan ke ormas agama. Bukan main mereka sekarang meminta jadi penambang," ujar Cak Kis dalam diskusi. 


Ilustrasi bongkar muat batu bara. Foto: Tempo 

Perizinan tambang seharusnya mencakup pembatasan, pengendalian dan perlindungan terhadap lingkungan. Pemerintah seharusnya mengevaluasi dan mencabut perizinan yang terbukti tak mengindahkan peraturan. Seperti tidak melakukan reklamasi atau penutupan lubang-lubang pasca-tambang.

"Kebijakan IUPK ormas ini sangat lucu, seharusnya evaluasi dan pencabutan izin tambang yang utama bukan malah menerbitkan izin baru,

Misalnya, Walhi Kalsel, kata Kisworo, bersama warga korban konflik agraria dari Kabupaten Kotabaru pernah bersilaturahmi dan mengadu dengan Pengurus Besar NU (PBNU) 2022 silam. Namun sampai saat ini belum ada progres apapun.

"Tiba-tiba sekarang malah PBNU yang mengajukan izin tambang ke pemerintah," jelasnya.

"Ini akan memicu konflik baru nantinya" tambah Kisworo.

Potensi dimaksud Kisworo adalah konflik ormas keagamaan dengan masyarakat lokal di sekitar lokasi tambang. Termasuk dengan masyarakat adat. Di lingkar tambang juga hidup turun temurun masyarakat lokal dengan adat, budaya dan kepercayaan lokalnya. Kisworo menduga; jangan-jangan ini upaya pemerintah untuk mengadu domba antar-ormas.

Tak cuma itu. Empat warga Desa Magalau Hulu Kotabaru baru tadi juga menjadi terdakwa karena berkonflik dengan perusahaan tambang batu bara.

Di Magalau Hulu beroperasi perusahaan batu bara bernama PT SDE. Empat warga tersebut telah divonis 2 bulan penjara sebab didakwa merintangi usaha pertambangan sebagaimana Pasal 162 UU Minerba.

Menilik lebih ke belakang, pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan juga menimbulkan konflik agraria. Seisi desa di Kabupaten Balangan tergusur akibat pertambangan batubara.

Dari Tanah Bumbu, seorang advokat sekaligus pensiunan polisi bernama Jurkani tewas ketika diadang para penambang diduga ilegal di Desa Bunati Tanah Bumbu, 2021 silam.

Lebih jauh ke belakang, kasus terbunuhnya seorang warga bernama M.Yusuf yang menulis tentang konflik lahan perusahaan besar di Kotabaru seolah masih membekas di ingatan. 

Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional melihat izin ke ormas keagamaan ini hanyalah bemper dari pembenaran aktivitas tambang. Pertambangan berizin PKP2B saja banyak menimbulkan masalah besar terhadap lingkungan.

"Longsor, deforestasi lahan dan hutan, pencemaran air, polusi udara, rusaknya ekosistem laut sudah menjadi hal tak terhindarkan akibat pertambangan selama ini," tambah Rere.

Apalagi izin ini diberikan kepada ormas yang notabenenya belum punya pengalaman dalam pengelolaan tambang. "Pemilik izin PKP2B seperti Arutmin, Adaro, KPC saja memerlukan kontraktor pertambangan. Mereka tidak mengerjakan sendiri lahan pertambangannya," jelasnya.

Rere, sapaan karibnya, menilai izin tambang untuk ormas ini justru menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada ormas keagamaan. "Ormas yang seharusnya pro-pelestarian lingkungan malah menambang, ini menjadi tanya publik" kata Rere.

Walhi sesungguhnya ingin mengajak ormas keagamaan melakukan judicial review PP Nomor 25 Tahun 2024 ke Mahkamah Agung. "Kalau memang masih ada bentuk kepedulian atas lingkungan, ayo," jelasnya.



Editor: Fahriadi Nur

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook