search:
|
PinNews

Kecurangan PPDB 2024, JPPI: Dipicu Sistem yang Membingungkan

Senin, 24 Jun 2024 15:43 WIB
Kecurangan PPDB 2024, JPPI: Dipicu Sistem yang Membingungkan

PPDBPosko Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SDN 04 Cawang Jakarta Timur yang didirikan untuk memberikan bantuan bagi orang tua siswa yang mengalami kesulitan melakukan pendaftaran secara daring (7/6/2021). Foto: ANTARA


PINUSI.COMKoordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengingatkan pentingnya pengawasan dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pengawasan antarkementerian, lembaga dan pemda diperlukan untuk menyukseskan PPDB yang sejalan dengan tiga prinsip yakni objektif, transparan, dan akuntabel.

“Ini Langkah yang baik sebagai bagian dari upaya meningkatkan akses yang lebih berkeadilan bagi semua, dan mencegah supaya tidak terjadi kecurangan saat proses PPDB. Namun, JPPI menyayangkan dan mempertanyakan mengapa forum bersama ini baru muncul?” kata Ubaid di Jakarta, Senin (24/6).

Sebelumnya, Kemendikbudristek telah menggagas Forum Bersama Pengawasan Pelaksanaan PPDB. Menurut Ubaid, pembentukan forum itu terbilang terlambat.

Jika saja forum tersebut dibentuk lebih dini, tepatnya sebelum proses PPDB 2024 dimulai, maka sejumlah persoalan dapat segera dieliminir.  

“Mestinya forum ini dibentuk lebih awal, jauh sebelum PPDB dimulai, sehingga banyak hal yang bisa diperbincangkan. Jadi tidak hanya membincangkan soal teknis pengawasan, tapi hal-hal strategis yang lebih berdampak pada mutu proses dan sistem yang berkeadilan,” jelas Ubaid. 

Selain soal keterlambatan, menurut Ubaid, forum tersebut terkesan tidak partisipatif karena melibatkan satu pihak saja. Idealnya, forum bersama perlu melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat sipil.

"Sayangnya, forum bersama ini hanya diisi oleh satu pihak dari pemerintah saja," katanya.

Ubaid menambahkan, "Tanpa keterlibatan masyarakat sipil,  ekosistem dan tata kelola pendidikan akan timpang dan tidak seimbang."

Di sisi lain, tiga prinsip pelaksanaan PPDB yakni objektif, transparan, dan akuntabel sulit terwujud jika sistem PPDB tidak berkeadilan. Ini bisa dilihat dari kasus-kasus yang terjadi setiap tahunnya. 

"Tidak ada perubahan sama sekali. Begitu pula pengaduan masyarakat dan hasil pemantahuan JPPI tahun ini juga sama masalahnya," ujarnya.

Sementara itu, per 20 Juni 2024, pengaduan dan pemantauan JPPI mendapati 162 kasus, yaitu: tipu-tipu nilai di jalur prestasi (42%), manipulasi KK di jalur zonasi (21) dan mutasi (7%), serta ketidakpuasan orang tua di jalur afirmasi (11%). Di luar itu, ada kasus dugaan gratifikasi (19%) yang dilakukan melalui 2 jalur gelap yang disebut jual beli kursi dan jasa titipan orang dalam.  

“Ya gitu-gitu saja tiap tahun. Maka sayang seribu sayang, jika forum bersama yang digagas Kemendikbudristek hanya fokus ke pengawasan, " katanya

Ubaid menambahkan, "Mestinya juga mendiskusikan soal kemungkinan perubahan sistem PPDB yang berkeadilan untuk semua. Ini penting karena masalah PPDB bukan hanya soal teknis implementasi, tapi sistemnya masih belum berkeadilan," 

Sejauh ini, kata Ubaid, sistemPPDB membingungkan orang tua. Banyak peserta didik ikut jalur zonasi, ternyata gagal meski jarak rumah dekat dengan sekolah.

Begitu juga di jalur prestasi. Meski calon peserta didik berprestasi, tapi nyatanya tidak lulus juga. Kasus ini ditemukan di kota Palembang yang melibatkan 7 SMAN yang melakukan praktik maladministrasi.

"Jadi, ukurannya apa di jalur ini?  Kegagalan di jalur prestasi ini juga menumpuk laporan kekecewaan di banyak kota lainnya," kata Ubaid.

Belum lagi, praktik ugal-ugalan di jalur gelap via gratifikasi dan titipan orang dalam. Praktik ini, kata Ubaid, melibatkan banyak pihak dan menguras banyak uang.

"Tahun ini, dilaporkan dugaan kasus ini mulai dari angka Rp2 - Rp25 juta terjadi di berbagai daerah,” ungkapnya.   

Akibat sistem PPDB yang belum berkeadilan, tahun 2023, jumlah anak tidak sekolah (ATS) cukup besar. Merujuk data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).

JPPI mengestimasi populasi ATS telah mencapai 3 juta anak.  “Itu data anak yang dipastikan tidak sekolah dan putus sekolah. Sementara data Kemendikbudristek tahun 2023 ditemukan sejumlah 10.523.879 peserta didik yang terdiskriminasi di sekolah swasta karena harus berbayar,” papar Ubaid. 

Fakta-fakta itu menunjukkan, pemerintah pusat dan daerah, termasuk pihak sekolah menganggap PPDB sebagai rutinitas dan justru sesak dengan oknum yang ingin meraih cuan musiman. Mereka justru tidak belajar dari kesalahan di tahun-tahun sebelumnya.

“Dengan sistem yang sekarang, tercermin di Permendikbud No.1 tahun 2021, orang tua disibukkan dengan jalur ini dan jalur itu. Padahal kita semua tahu bahwa semua jalur itu isinya zonk, karena ketersediaan bangku sekolah yang kurang, ditambah lagi masalah mutu sekolah yang timpang,” kata Ubaid.  

Karena itu, Ubaid berharap, sistem kompetisi dalam rebutan kursi di musim PPDB harus diakhiri. Sistem PPDB sekarang ini hanya menguntungkan sekolah negeri dan mendiskriminasi sekolah swasta. 

“Apa ini yg namanya berkeadilan? Masih jauh lah.. ini jelas melenceng dari mandat konstitusi yang diemban pemerintah soal perlindungan dan pemenuhn hak anak untuk mendaptkan pendidikan yang berkulitas dan berkeadilan bagi semua,” tandasnya.



Editor: Jekson Simanjuntak

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook