PINUSI.COM – Ombudsman menemukan sejumlah masalah dalam sistem Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) setelah melakukan pengawasan sejak 2020. Anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais berharap agar pengawasan terhadap PPDB setiap tahun benar-benar dipertimbangkan oleh pemerintah, sehingga masalah ini tidak lagi menjadi isu musiman.
“Kami berharap hasil pengawasan ini bisa memberikan salah satu inside bagi seluruh stakeholder terkait untuk bisa mengevaluasi lebih dalam mengenai pelaksanaan PPDB, sebelum memutuskan apakah harus diubah, dihapus, atau dilanjutkan,” kata Indraza Marzuki Rais saat memaparkan Hasil Kajian Pengawasan Penyelenggaraan PPDB di gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (12/12/2024).
Lebih lanjut, Indraza menyebut ada temuan sejumlah kendala di tiga tahapan PPDB, yaitu Pra-PPDB, pelaksanaan PPDB, dan Pasca-PPDB. Permasalahan tersebut meliputi seleksi berdasarkan zonasi, afirmasi, prestasi, serta perpindahan tugas orang tua.
Baca Juga: Belum Ada Kesepakatan, Pemprov Tunda Penetapan UMSP Jakarta 2025
Di sisi lain, Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih menyebut buku putih ini sebagai tonggak penting menuju sistem pendidikan yang inklusif, transparan, dan berkeadilan. Pengawasan PPDB dilakukan setiap tahun, dari tahap awal hingga akhir, untuk memastikan pelayanan pendidikan sesuai aturan.
"Kami berharap, Buku Putih Hasil Pengawasan PPDB ini dapat menjadi panduan yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan, dinas pendidikan, dan masyarakat luas dalam mengoptimalkan proses PPDB di masa mendatang," ucap Najih dilansir ombudsman.go.id.
Temuan Masalah di Jalur Zonasi
Indraza mengatakan bahwa Ombudsman telah menerima setidaknya 594 laporan terkait masalah sistem zonasi selama 2022 hingga 2024. Di antaranya ada (31%) terkait penyimpangan prosedur, (18%) tidak kompeten, dan (13%) tidak memberikan pelayanan.
“Dan yang menjadi permasalahan sebenarnya masalah jarak, sebetulnya zonasi membagi area berdasarkan calon peserta didik, kita ketahui di daerah kesulitan pindah,” imbuhnya.
Di sisi lain, Ombudsman menemukan sejumlah kendala dalam penerapan sistem zonasi, yaitu permasalahan jarak (20%), verifikasi dokumen (12,2%), dan Blankspot (11,9%). Salah satu masalah utama dalam verifikasi dokumen adalah temuan pemalsuan barcode pada kartu keluarga (KK).
"Terkait verifikasi dokumen ini bermasalah karena kami temukan beberapa daerah karena mereka anggap itu jarak dan zona, ada banyak upaya yang dilakukan baik oleh orang tua calon peserta didik dan oknum petugas memalsukan, kami menemukan ada memalsukan barcode kartu keluarga," ungkapnya.
Selain itu, terdapat juga temuan masalah distribusi sekolah yang tidak merata. Indraza mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan blank spot atau wilayah tanpa akses ke sekolah terdekat.
Menanggapi masalah ini, Ombudsman menyarankan pemerintah lebih perketat sistem melalui otomatisasi penentuan koordinat untuk mencegah pemalsuan KK. Tak hanya itu, pemerintah juga diminta untuk meningkatkan pengawasan terhadap pemetaan wilayah zonasi di tahap pra-PPDB, sehingga tidak ada lagi blank spot.
"Teknologi udah ada bagaimana menghubungkan data KK dengan peta ini yang belum dilakukan banyak daerah," jelasnya.
Temuan Masalah di Jalur Afirmasi
Terkait masalah jalur afirmasi, Ombudsman menerima 148 laporan dengan rincian (39%) mengenai penyimpangan prosedur, (24%) terkait ketidakadaan pelayanan, dan (13%) menyangkut penundaan yang berkepanjangan. Adapun masalah utama dalam jalur afirmasi ini yaitu, adanya kesulitan dalam membuktikan status sosial calon peserta didik.
"Kami melihat memang kendalanya membuktikan status sosial ekonomi, ini kami sudah pernah bicara dengan Kemensos saat itu, bagaimana kriteria orang tidak mampu, apalagi saat COVID ternyata ada hal yang sangat signifikan perubahannya, ada orang mampu menjadi tidak mampu, dan ada orang tidak mampu menjadi mampu," ungkapnya.
Indraza menilai masalah dalam seleksi afirmasi ini membuka celah jual beli kuota calon peserta didik. Ia juga menyebutkan kendala krusial lainnya seperti, keterbatasan akses, ketidakbaruan data terpadu kesejahteraan sosial, dan kesenjangan infrastruktur daerah dalam pelaksanaan afirmasi.
Jalur Prestasi dan Perpindahan Tugas Orang Tua
Sementara itu, Indraza mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima 366 laporan yang mengadukan masalah jalur prestasi sejak 2022. Hasil pantauan Ombudsman menunjukkan jika dalam seleksi ini ditemukan ketidaksamaan standar nilai di tiap sekolah.
Kemudian, pihaknya juga menemukan praktik manipulasi nilai rapor untuk masuk ke sekolah yang diinginkan. Ia juga menyoroti masalah pencantuman sertifikat dalam seleksi PPDB jalur prestasi.
"Lalu ada juga beberapa daerah menurut kami melakukan diskriminasi, contoh di Sumsel kami temukan jalur prestasi memasukkan nilai tahfiz. Pertanyaan kami, apakah semua calon peserta didiknya Muslim? Sehingga tidak adil untuk hal seperti itu, jangan dicantumkan menurut kami," jelasnya.
Di samping itu, Ombudsman juga menemukan adanya diskriminasi terkait surat pindahan dalam jalur perpindahan tugas orang tua. Ia mengusulkan agar jalur ini diterapkan secara inklusif, terutama bagi masyarakat seperti pedagang dan nelayan yang pindah tanpa memiliki surat tugas resmi.
"Kendalanya tiap daerah memang berbeda-beda, dan ini lucunya hanya berlaku untuk orang yang pindah memiliki instansi. Padahal banyak orang pindah daerah misal pedagang, nelayan, memperhitungkan tahun ajaran. Dia pindah tapi dia nggak punya surat tugas atau mutasi, itu jadi tantangan juga," tandasnya.