PINUSI.COM - Indonesia Watch Corruption (ICW) menilai tindakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri yang membawa dokumen penyidikan kasus dugaan suap, tidak relevan dengan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, Firli jmembawa dokumen penyidikan kasus dugaan suap di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan, yang bersifat rahasia.
"Bagi ICW, bukti yang dihadirkan Firli Bahuri melalui kuasa hukumnya dalam sidang praperadilan PN Jakarta Selatan, berupa dokumen penanganan perkara dugaan suap mantan pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, tidak relevan," kata Kurnia kepada wartawan.
Sebaliknya, kata Kurnia, kuasa hukum Firli membaca lebih lanjut KUHP yang menyebutkan praperadilan adalah mekanisme pengujian formil suatu penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum.
"Hal itu menjadi janggal, karena dokumen yang dibawa tersebut di luar substansi perkara yang menjerat Firli, yakni dugaan pemerasan Syahrul Yasin Limpo (SYL)," ungkapnya.
Dengan demikian, Kurnia menegaskan, ICW meminta KPK agar mengusut bagaimana Firli Bahuri bisa mendapatkan dokumen tersebut.
"Tentu menjadi janggal dan ganjil jika kemudian yang disodorkan justru berkas dokumen di luar dari substansi perkara yang ditangani oleh Polda Metro Jaya," ujarnya.
Kurnia menyatakan, penting juga bagi KPK untuk mendalami dari mana Firli Bahuri bisa mendapatkan dokumen tersebut.
"Jika di dalam berkas yang dibawa Firli tercantum informasi yang bersifat rahasia dan dianggap dapat mengganggu proses penyidikan KPK," imbuh Kurnia.
Sehingga, kata dia, hal tersebut menjadi penting bagi KPK, untuk menyelidiki adanya potensi obstruction of justice atau perintangan penyidikan.
Kurnia juga meminta Dewas Pengawas (Dewas) KPK bergerak untuk menyelidiki dugaan etik Firli lagi.
Pihaknya meminta agar Dewas juga harus mulai bergerak mengusut dugaan pelanggaran etika, apabila kemudian dokumen itu diperoleh Firli dengan cara-cara yang tidak sah.
Sebelumnya, Tim Advokasi Bidang Hukum Polda Metro Jaya (Bidkum PMJ) mempermasalahkan pengacara Firli Bahuri, yang membawa bukti dokumen penanganan kasus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Bukti tersebut dibawa dalam sidang praperadilan yang diajukan Firli Bahuri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, karena tak terima atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh PMJ.
Tim Advokasi Bidkum PMJ menilai, bukti tersebut tidak ada relevansinya dengan perkara Firli yang tengah diuji di praperadilan. Mereka lantas menanyakan hal tersebut kepada ahli.
"Ada beberapa dokumen dijadikan barbuk, dan kami sudah punya 159 barbuk yang tentunya nanti diuji di sidang pokok perkara, bukan praperadilan."
"Tapi, pemohon menyampaikan barbuk yang menurut kami tidak ada korelasinya dengan yang sedang dibahas di sidang praperadilan," kata Kabidkum PMJ Kombes Putu Putera Sadana.
Menurut Putu, bukti yang dinilai tak ada korelasinya tersebut adalah P26 dan P27. Di mana, P26 daftar hadir dan kesimpulan dan seterusnya tentang OTT DJKA. Putu menyebut, hal itu tidak linear dengan apa yang tengah dibahas.
"Karena petitum yang bersangkutan salah satunya penetapan tersangka tidak sah."
"Apakah dokumen ini termasuk dokumen negara yang perlu dirahasiakan atau tidak? Karena dalam kepolisian dirahasiakan," beber Putu.
Putu menyebut, P37 yang hampir semua terkait DJKA, dijadikan sebagai barbuk (barang bukti). Dia juga menanyakan terkait korelasinya dengan kasus yang tengah dibahas. (*)