search:
|
PinFood&Travel

Subak, Sistem Perairan Masyarakat Bali yang Berpegang Teguh pada Filosofi Tri Hita Karana

ragil dwisetya utami/ Rabu, 19 Jun 2024 11:30 WIB
Subak, Sistem Perairan Masyarakat Bali yang Berpegang Teguh pada Filosofi Tri Hita Karana

Subak Jatiluwih di Bali. Foto: X@saranstm


PINUSI.COM - Bagi masyarakat Bali, air merupakan simbol keberlanjutan, kesucian, dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut juga yang menjadi salah satu landasan dalam membuat sistem subak, dengan berpegang teguh terhadap filosofi masyarakat Hindu Bali, Tri Hita Karana, yakni filosofi menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta.

Filosofi Tri Hita Karana tersebut terdiri dari tiga unsur kehidupan,  Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.

Unsur parahyangan ditujukan untuk pemujaan terhadap pura di sekitar subak.

Sementara, pawongan dengan organisasi yang mengatur sistem subak.

Sedangkan unsur palemahan menunjukkan kepemilikan tanah atau wilayah setiap subak.

Ketiga unsur tersebut menjadi sebuah hubungan timbal balik yang erat kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.

Fakta menarik lainnya tentang sistem pengairan subak di Bali ini adalah adanya pura-pura yang dibangun di sekitar subak, seperti yang tertuang pada unsur parahyangan.

Umumnya, pura yang berada di sekitar subak disebut Pula Ulun Carik atau Pura Bedugul, pura-pura ini khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Dewi Sri, sang dewi kesuburan dan kemakmuran.

Mengutip dari laman Kemenparekraf, subak menjadi salah satu daya tarik wisata di Bali, seperti yang ada di Desa Wisata Jatiluwih, Penebel, Tabanan.

Berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan di kaki Gunung Batukaru, Desa Wisata Jatiluwih memiliki area persawahan berundak dengan sistem subak lebih dari 50.000 hektare, paling luas di Bali.

Hamparan persawahan dengan sistem subak inilah yang menjadi daya tarik wisata di Desa Wisata Jatiluwih.

Salah satu atraksi wisata yang dapat merasakan langsung di desa wisata ini adalah mengikuti kegiatan para petani, seperti membersihkan sawah (nampadin), membajak sawah (ngelampit), meratakan tanah sawah (mlasah), menanam padi (nandur), hingga memanen (sasih sada).

Daya tarik utama yang tak bisa dilepaskan dari desa wisata ini adalah Festival Jatiluwih yang rutin digelar setiap tahunnya.

Festival ini dilakukan sebagai salah satu bentuk ucapan berterima kasih masyarakat Bali kepada Dewi Sri, atau yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan nama Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Festival ini biasanya menampilkan berbagai seni pertunjukan khas dari Desa Jatiluwih, mulai dari tarian kolosal Rejang Kesari, tari Bungan Sandat, tari Metangi, tari Cendrawasih, tari Margapati, dan tarian lainnya. (*) 



Editor: Yaspen Martinus
Penulis: ragil dwisetya utami

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook