PINUSI.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi yang diajukan dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid, terkait syarat usia minimal calon hakim konstitusi.
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan Perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang menolak seluruh permohonan pemohon.
"Menolak permohonan pemohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Gedung I MK, Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Fahri Bachmid meminta norma pasal yang mengatur syarat usia minimal untuk menjadi hakim konstitusi adalah 55 tahun, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Artinya, pemohon meminta penegasan untuk tidak ada lagi pengubahan substansi yang telah diatur secara tegas dalam norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK tersebut.
Dengan kata lain, Fahri ingin syarat minimal usia calon hakim MK ditetapkan seutuhnya menjadi 55 tahun.
"Dengan demikian, seandainya petitum pemohon dikabulkan, maka tidak akan mengubah esensi atau makna apa pun norma a quo."
"Begitu pula sebaliknya, apabila tidak dikabulkan oleh mahkamah, maka dengan sendirinya tidak akan mengubah esensi atau makna norma pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020," kata Hakim Saldi Isra saat membacakan pertimbangan.
Ia mengatakan, MK menilai norma pasal yang digugat Fahri telah sering berlaku dengan terang, jelas, dan tegas.
Sehingga, tidak mungkin ditafsirkan lain, selain yang bermaktub saat ini dalam pasal dimaksud.
Meski demikian, MK dapat memahami kekhawatiran pemohon, karena sering diubahnya syarat usia minimal untuk menjadi hakim konstitusi.
Mahkamah juga mengakui perubahan syarat usia calon hakim MK berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pemohon, jika seandainya pemohon terpilih menjadi hakim konstitusi.
Sebab, di tengah masa jabatan, ada potensi bagi pemohon untuk tidak memenuhi syarat minimal, jika ada perubahan aturan berupa kenaikan syarat usia minimal.
"Terkait hal demikian, penting untuk menegaskan bahwa mahkamah tidak ingin terjebak dalam conflict of interest (konflik kepentingan) dalam memutus perkara a quo," beber Saldi. (*)