PINUSI.COM - Harga tanah di DKI Jakarta yang terus melambung tinggi, membuat sebagian besar warga ibu kota tinggal di hunian tak layak.
Riset Marketbeat Greater Jakarta Landed Residential H2 2023 yang dikeluarkan oleh Cushman & Wakefield, menunjukkan harga tanah di DKI Jakarta rata-rata Rp15,6 juta per meter persegi.
Wakil Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta August Hamonangan mendorong perlunya kebijakan inklusif dari Pemprov DKI Jakarta, untuk menjamin ketersediaan hunian layak bagi warga.
Sebab, August menilai harga tanah di Jakarta saat ini sudah semakin tidak wajar.
“Pantas saja sekarang 67 persen warga DKI Jakarta dikategorikan memiliki hunian tidak layak."
"Untuk hunian layak, luas kecukupan minimal tinggal itu 7,2 meter persegi per orang.”
“Berarti kalau tanah harganya hampir Rp16 juta per meter, itu butuh hampir 2 tahun UMR Jakarta atau Rp115 juta."
"Baru tanahnya saja untuk dikatakan hunian yang layak,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia pun meminta Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) memberikan insentif untuk rumah non-landed, baik dari segi kemudahan perizinan maupun dari segi perpajakan, agar terjadi pertumbuhan hunian layak saat harga tanah mahal dan keterbatasan lahan di jakarta, terutama yang dekat dengan pusat ekonomi.
“Dengan harga tanah yang mahal, dan semakin sedikit jumlah lahan yang tersedia, konsep non-landed house memang seharusnya diperbanyak, agar semakin banyak hunian yang tersedia di pasaran dengan harga jauh lebih terjangkau dengan menggunakan lahan yang terbatas, dibandingkan harga rumah tapak, dan pembangunan juga dekat dengan pusat kota/ekonomi, sehingga biaya dan waktu commuting bisa turun,” usulnya.
Sayangnya, saat ini peraturan yang ada justru justru membebani warga yang memilih hunian non-landed house, karena insentif PBB-P2 untuk hunian dengan NJOP di bawah Rp2 miliar hanya berlaku untuk rumah tapak.
Sedangkan aturan insentif PBB-P2 bagi penghuni rusun justru dicabut.
“Sekarang warga yang tinggal di rusunami dan apartemen, terbebani dengan PBB-P2, walaupun NJOP-nya di bawah Rp1 miliar."
"Dulu kan, Pergub 259/2015 serta turunan perubahannya dicabut. Di aturan itu rusun dengan NJOP di bawah Rp1 miliar itu sudah dapat insentif pembebasan PBB-P2.”
“Sekarang aturannya di Pergub 23/2022, memang bebas PBB-P2 untuk NJOP di bawah Rp2 miliar, tapi hanya berlaku ke rumah tapak, rusun tidak dapat."
"Ini yang sedang kami komunikasikan ke Bapenda agar rusun kembali mendapat insentif,” paparnya.
August juga menyebutkan, Fraksi PSI selalu mendorong kebijakan subsidi hunian yang diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk dengan skema subsidi rumah susun sederhana sewa (rusunawa), agar masyarakat yang tidak mampu membeli hunian, masih dapat mengakses hunian dengan harga sewa terjangkau.
“Tentu saja, selain insentif pajak rusun serta penyediaan rusunami (Rumah Susun Sederhana Milik) yang terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), kami juga mendorong perluasan subsidi rusunawa, agar masyarakat yang tidak mampu, tidak perlu dikhawatirkan dengan biaya sewa yang tinggi,” bebernya. (*)