PINUSI.COM - Yanu Endar Prasetyo, peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kependudukan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, kelangkaan pasokan dan tingginya harga beras di pasaran, dipengaruhi sejumlah faktor.
Di antaranya, alih fungsi lahan secara masif, perubahan iklim, demografi seperti usia petani di atas 55 tahun, hingga harga pupuk yang tinggi.
"Faktor-faktor yang tadi saya sebutkan menjadi ancaman produktivitas pertanian, termasuk beras."
"Selain itu, di hilir juga ada penurunan produktivitas beras, ditandai dengan berhenti beroperasinya penggilingan padi berskala kecil dan besar," ucap Danu.
Danu pun mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, sekitar 98,35% penduduk Indonesia mengonsumsi beras.
Dan fakta ini menunjukkan, beras berperan vital pada pola makan masyarakat Indonesia.
"Pada Bulan September 2023, rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia sebesar 6,81 kg per bulan."
"Namun, terdapat perbedaan dalam pola konsumsi antara masyarakat perkotaan dan perdesaan."
"Masyarakat perkotaan mengonsumsi rata-rata 6,37 kg per bulan, sedangkan masyarakat pedesaan mengonsumsi rata-rata 7,41 kg per bulan."
"Perbedaan ini mungkin dipengaruhi faktor aksesibilitas, kebiasaan makan, dan preferensi lokal," ujar Yanu di Jakarta, Senun (26/2/2024).
Menyoroti soal menurunnya usaha penggilingan padi, ia mengatakan hal tersebut menjadi persoalan yang harus diselesaikan.
Penggilingan padi berperan krusial dalam menjalankan fungsi penyimpanan dan distribusi beras, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Karena, pada periode 2012-2020, populasi usaha penggilingan padi nasional merosot cukup signifikan, dari 182.199 unit menjadi 169.789 unit, atau turun 6,81%.
Sementara, pada periode yang sama, usaha penggilingan padi skala besar menurun hingga 49,11%, dari 2.075 unit usaha menjadi 1.056 unit.
"Akibatnya, muncul ketidakpastian stok beras, baik dari produksi dalam negeri maupun impor, serta penurunan produksi secara keseluruhan yang disebabkan kombinasi permasalahan hulu dan hilir," bebernya. (*)