PINUSI.COM - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) prihatin terhadap kasus dugaan kekerasan seksual yang menimpa dua pegawai Universitas Pancasila.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ratna Susianawati menyatakan, pihaknya mendukung penyelidikan aparat penegak hukum, dalam hal ini Polda Metro Jaya, yang tanggap menindaklanjuti pengaduan korban.
“Keamanan korban merupakan hal utama yang perlu diperhatikan, untuk itu, apresiasi terhadap respon cepat pihak Polda Metro Jaya yang segera menindaklanjuti laporan para korban."
"Tentunya kami juga mendukung proses penyelidikan yang tengah diupayakan, dengan mengutamakan keberpihakan terhadap perempuan korban, dan berharap terduga pelaku dapat bersikap kooperatif dengan mematuhi pemanggilan pemeriksaan polisi."
"Kami juga menyambut baik penonaktifan terduga pelaku untuk lebih menjaga independensi proses penyelidikan oleh kepolisian,” ucap Ratna lewat keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan tinggi dari perguruan tinggi ini, menurut Ratna, sangat memprihatinkan.
Ratna menyebutkan, kasus ini membuktikan relasi kuasa terduga pelaku, memicu tindak pidana kekerasan seksual.
“Kami juga mengapresiasi keberanian korban yang telah melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami, untuk memperjuangkan hak dalam mendapatkan perlindungan dan penegakan hukum, serta keluarga yang telah mendukung para korban agar berani untuk mengungkapkan kekerasan yang dialami."
"Jika terduga pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual, hal ini menjadi contoh nyata adanya relasi kuasa di lingkungan kerja benar terjadi, tidak terkecuali di lingkungan kerja para akademisi."
"Dan sekali lagi kami tegaskan bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat ditoleransi,” tegas Ratna.
Kemen PPPA melalui Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 telah berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi DKI Jakarta dan Itjen Kemendikbudristek, untuk proses pengawalan kasus, memastikan pelindungan dan upaya pemenuhan hak korban.
“Upaya pendampingan yang akan dilakukan antara lain persiapan asesmen, pendampingan psikologis serta pengawalan proses hukum."
"Hal ini tentunya memerlukan kerja sama lintas sektor sebagai upaya pemenuhan hak perempuan korban kekerasan."
"Kemen PPPA sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan, melakukan tugas dan fungsinya dalam penanganan kasus yang memerlukan koordinasi lintas nasional, lintas provinsi, dan internasional, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kemen PPPA,” papar Ratna.
Jika dalam hasil penyidikan terduga pelaku terbukti bersalah, maka dapat dikenakan pasal 6 huruf C UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) jo Pasal 64 KUHP.
Isinya, “setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
Terduga pelaku juga dapat dikenakan pidana dari Pasal 5 UU TPKS yang Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorzrng berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ratna mengajak masyarakat yang melihat atau mengalami kasus kekerasan, berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, seperti UPTD PPA, UPT Bidang Sosial, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian.
“Bagi siapapun yang menjadi korban, melihat, ataupun mendengar kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat segera melapor. Layanan SAPA 129 dapat diakses dengan mudah melalui hotline 129 atau Whatsapp 08111-129-129,” pungkas Ratna.
Pada kasus ini, korban RZ terlebih dahulu melaporkan kasus dugaan pelecehan ke Polda Metro Jaya pada 12 Januari 2024, sedangkan korban D melapor ke Mabes Polri pada 28 Januari 2024.
RZ telah meminta pendampingan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Minggu (25/2/2024). (*)