PINUSI.COM - Dandhy Dwi Laksono, jurnalis investigasi sekaligus sutradara Dirty Vote, blak-blakan soal tujuannya merilis film dokumenter tersebut, jelang hari pemungutan suara Pemilu 2024.
Pria yang juga menggarap dokumenter kontroversial Sexy Killer pada Pilpres 2019 itu mengatakan, Dirty Vote adalah film yang dibikin untuk mengedukasi masyarakat pada pemilu kali ini.
Sebab, dokumenter terbarunya itu menceritakan berbagai indikasi kecurangan Pemilu 2024, untuk memenangkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
"Seyogianya Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu."
"Diharapkan 3 hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar," kata Dandhy lewat keterangan pers yang diterima PINUSI.COM, Senin (12/2/2024).
Pria yang menggagas Ekspedisi Indonesia Biru itu meminta masyarakat tak fanatik buta pada pilihan capres/cawapres yang didukung.
Dirty Vote, kata dia, bakal memberikan pemahaman baru mengenai dunia perpolitikan pada pilpres kali ini.
"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," ujar Dandhy.
Dirty Vote sudah tayang di saluran Youtube rumah produksi WatchDoc pada 11 Februari 2024 pukul 11.00 WIB, bertepatan pada hari pertama masa tenang Pemilu 2024.
Film dokumenter itu menampilkan 3 pakar hukum tata negara, yakni Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar.
Ketiganya memaparkan tentang penyimpangan yang terjadi dalam berbagai hal terkait proses Pemilu 2024.
Respons TKN Prabowo-Gibran
Dokumenter Dirty Vote yang mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024 ini menuai beragam reaksi, termasuk para kontestan, salah satunya dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman menegaskan, film ini hanya berisi asumsi yang tak mendasar dan condong memfitnah. Dia menduga tujuan pembuatan film itu adalah untuk mendegradasi muruah pemilu.
"Sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang sangat asumtif, dan sangat tidak ilmiah. Saya mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film tersebut,” ucap Habiburokhman.
Habiburokhman berpendapat, narasi-narasi yang disampaikan ketiga pakar hukum tata negara dalam film dokumenter tersebut, berseberangan dengan pendirian rakyat. Menurutnya, narasi yang disampaikan, menyudutkan pihak tertentu.
“Kami yakin ini enggak laku di hati rakyat. Rakyat sudah tahu apa yang harus mereka lakukan pada 14 Februari," cetusnya. (*)