PINUSI.COM - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai, film dokumenter Dirty Vote mewakili perasaan khalayak yang sedang gelisah dengan indikasi kecurangan Pemilu 2024.
Menurutnya, selama ini masyarakat sudah merasakan ketidakberesan pada Pemilu 2024, hanya saja banyak yang tak paham dan masih ragu-ragu.
Karenanya, saat dokumenter itu rilis pada 11 Februari 2024, masyarakat langsung berbondong-bondong menyaksikan film tersebut.
Jumlah penontonnya terus berlipat ganda setiap saat, hingga kini menembus 7,2 juta orang.
“Berbagai praktik yang diduga sebagai pelanggaran pemilu berseliweran di depan mata, tapi taķ dengan berani diungkapkan."
"Maka tayangan ini bukan saja merangkai fakta itu, tapi menempatkannya dalam sistemisasi akademis, dan memberi penjelasan utuh bahwa semua cerita-cerita itu menuju satu alur yang sudah diatur, menggapai kemenangan dengan cara tidak halal."
"Satu pikiran yang menggurita di benak banyak orang,” kata Ray saat dikonfirmasi, Selasa (13/2/2024).
Menurut aktivis 98 itu, membeludaknya penonton Dirty Vote adalah salah satu ekspresi perlawanan masyarakat terhadap pemerintah yang selama ini dianggap melakukan keangkuhan kekuasaan, ketiadaan akhlak demokrasi dan penghormatan pada konstitusi dan aturan yang semuanya dipertontonkan secara telanjang.
“Publik, bukan saja merasa terwakili, tapi sekaligus menunjukkan keresahan, kegetiran bahkan mungkin perlawanan."
"Satu perlawanan yang ditunjukkan dengan diam menikmati tayangan, yang sebenarnya ekspresi awal dari sikap perlawanan publik itu,” paparnya.
Menurut Ray, pemerintah seharusnya merespons dokumenter Dirty Vote ini secara bijak, bukan sebaliknya, menuding pihak-pihak yang terlibat dalam film itu sebagai partisipan pasangan calon tertentu yang mau menyudutkan calon lainya pada pilpres kali ini.
“Perlawanan itu bisa membesar bila tidak ada kearifan untuk menjawabnya."
"Alih-alih sikap arif, tapi malah disikapi dengan keangkuhan."
"Misalnya dengan menyebut gerakan-gerakan moral itu, sebagai partisan, tidak ilmiah, bahkan disertai ancaman-ancaman hukum."
"Bahwa gerakan-gerakan moral itu disebut sebagai tidak bermoral, ditandingi dengan puja-puji pada kekuasaan,” bebernya. (*)