PINUSI.COM - Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto tak terima dengan hasil hitung cepat alias quick count Pilpres 2024 yang dilakukan sejumlah lembaga survei, pasca-pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
Hasto tak terima lantaran capres/cawapres yang diusung pihaknya, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, kalah telak dari dua rivalnya.
Bahkan, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sukses mendapat lebih dari 50 persen suara.
Hasto bilang hasil survei ini sudah berlebihan.
"Kami melihat tampak adanya fenomena overshooting. (istilah dalam ilmu ekonomi yang merujuk pada sesuatu yang melampaui batas normalnya).
"Jadi kalau berburu itu nembaknya berlebihan,” kata Hasto kepada wartawan, Kamis (15/2/2024).
Pasangan Ganjar-Mahfud dalam dalam hitungan cepat Litbang Kompas hanya dapat 16,12 persen dari total 93,65 persen suara yang masuk.
Pasangan ini tertahan di posisi ketiga, setelah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang mendapat 25,27 persen suara dan ketinggalan jauh dari Prabowo-Gibran yang sukses merengkuh 58,61 persen suara.
Hasil yang sama juga dibeberkan Poltracking, PRC, Charta Politika, LSI, dan Voxpol, di mana Ganjar Mahfud tak berdaya dan hanya mampu mengumpulkan suara di kisaran 16 hingga 17 persen saja.
Terkait hasil jomplang ini, Hasto menyebut hitung cepat pada pilpres kali sama persis dengan hasil pemilu pada rezim Orde Baru pada 1997 di Timor timur (Sekarang Timor Leste).
Di mana pada pemilu kala itu, penguasa menang 100 persen di wilayah tersebut, karena berbagai indikasi kecurangan.
“Ini pernah terjadi di Timor Timur pada Pemilu 1997."
"Ketika suatu operasi masif dilakukan, maka sampai rezim penguasa saat itu kaget karena partai penguasa saat itu sampai mendapatkan hampir 100 persen," ujar Hasto.
Menurut Hasto, hasil hitung cepat tidak masuk akal, lantaran berbeda jauh dari hitung cepat pemilu luar negeri yang sudah digelar terlebih dahulu pada pekan lalu, di mana Ganjar-Mahfud menang telak di sejumlah negara.
"Exit poll di luar negeri itu mencerminkan tidak adanya operasi bansos, tidak adanya operasi intimidasi, tidak adanya operasi keterlibatan dari institusi-institusi negara, sehingga warga Indonesia bisa menyampaikan pilihannya secara jernih," papar Hasto. (*)