PINUSI.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sekitar 7,94% rumah tangga di Indonesia menempati rumah kumuh pada 2023.
Artinya, 8 dari 10 rumah tangga di Indonesia tinggal di wilayah kumuh sepanjang tahun.
Kumuh dikategorikan tidak memenuhi komponen ketahanan bangunan, seperti tidak memiliki atap dan dinding yang layak, kecukupan luas, tempat tinggal, hingga akses layanan sumber air dan sanitasi yang tidak layak.
Kondisi sektor permukiman perkotaan di Indonesia jauh dari kata ideal.
Bahkan, analisis SUSENAS mencatat, pada 2019 angka rumah tangga yang tinggal di rumah layak huni mencapai 56,51%, dan di kawasan perkotaan sebagai titik konsentrasi penduduk mencapai 61,09%.
Artinya, sekitar 38,9% atau 15,5 juta rumah tangga tinggal di wilayah kumuh dan tidak layak huni.
Sementara, data BPS tahun 2023, wilayah di Indonesia dengan persentase rumah tangga kumuh terbanyak ditempati Papua, yakni sekitar 37,98%.
Diikuti oleh Nusa Tenggara Timur (21,90%), DKI Jakarta (19,27%), Kepulauan Bangka Belitung (15,33%), Jawa Barat (11,66%), Banten (9,02%), Kepulauan Riau (8,44%), Sulawesi Tengah (8,44%), Sulawesi Barat (8,20%), dan Maluku (8,02%).
Sedangkan provinsi dengan tempat tinggal kumuh terendah diduduki oleh Yogyakarta, sekitar 1,85%.
Fenomena permukiman kumuh ini terdapat dua sisi peluang dan ancaman.
Satu sisi mendapat dukungan produktivitas kota dalam menyediakan tenaga kerja dan kegiatan sektor ekonomi informal, tetapi sisi lain, memiliki risiko penghuninya mengalami permasalahan kesehatan dan keselamatan.
Selain itu, kebutuhan perumahan akan menimbulkan beban finansial bagi para penghuni yang tinggal di wilayah kumuh.
Mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan air bersih atau layak, serta rentan bencana, mulai dari banjir hingga kebakaran. (*)