PINUSI.COM - Todung Mulya Lubis, Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, mengapresiasi 3 putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pertama, putusan yang menolak jadwal Pilkada serentak 2024 dimajukan.
Kedua, putusan MK terkait independensi Jaksa Agung dan aparat hukum lainnya.
Ketiga, putusan MK terkait ambang batas parlemen.
"Kami mengapresiasi putusan MK bahwa Pilkada 2024 tetap berjalan di Bulan November. Seyogianya putusan itu bersifat final."
"Karena Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pilkada 2024 harus dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan dalam UU Pilkada, yakni pada November 2024, dan perubahan jadwal dapat mengganggu tahapan Pilkada dan Pemilu 2024. Hal tersebut ditegaskan MK dalam putusan nomor 12/PUU-XXII/2024."
"Lalu terkait soal putusan kedua mengenai independensi Jaksa Agung, menurut saya hal ini sangat penting, dan seharusnya pihak Kejaksaan dan Kepolisian memiliki peran yang independen."
"Karena perlu diketahui bahwa dalam putusannya, MK menyebutkan pasal 20 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, terkait syarat Jaksa Agung."
"Karena menurut MK, pengurus partai politik tidak bisa diangkat menjadi Jaksa Agung," papar Todung Mulya Lubis di Jakarta, Jumat (8/3/2024).
MK kemudian menyebutkan pengurus parpol yang akan diangkat menjadi Jaksa Agung harus lebih dahulu berhenti dari kepengurusan parpol, sekurang-kurangnya 5 tahun.
"Saya mengkhawatirkan zero treshold akan menambah jumlah partai di Indonesia."
"Karena pasca-reformasi di Pemilu 1999, partai politiknya itu ada 48."
"Dalam negara presidensil, saya kira hal ini bisa menjadi masalah. Ini yang perlu dikaji secara mendalam dan jernih," ulasnya.
MK juga telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem mengenai ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4% suara sah nasional, yang diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu.
Dalam amar putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan dalam sidang pleno pada Kamis 29 Februari 2024, Mahkamah meminta DPR mengatur ulang besaran angka dan persentase ambang batas parlemen dalam Undang-undang Pemilu, agar lebih rasional. (*)