PINUSI.COM - Sengketa lahan Hotel Sultan antara pemerintah dan Pontjo Sutowo, belum menunjukkan titik terang.
Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono membawa kabar terbaru mengenai masalah yang telah berlarut-larut ini.
Pria yang akrab disapa AHY ini mengaku akan segera menyelesaikan kasus sengketa hotel bintang lima tersebut.
Sudah berlarut-larut, pihaknya sepakat membawa kasus ini ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami sedang terus pelajari, kami sudah sepakat bahwa ini akan diambil ke tingkat lebih tinggi, dan ini sudah jadi perhatian semua di jajaran."
"Dan kami akan report ini pada kesempatan yang baik kepada Bapak Presiden," kata AHY dalam acara Konferensi Pers Rapat Kerja Nasional Kementerian ATR/BPN 2024, Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Pihaknya juga akan terus berkoordinasi dengan sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari Kejaksaan Agung, kepolisian, hingga Sekretaris Negara.
AHY menyatakan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto, akan menjadi konsolidator atau koordinator untuk penyelesaian konflik.
Ia menekankan, negara tidak boleh dirugikan dalam kasus konflik ini.
Meski demikian, kasus ini tidak hanya melibatkan pemerintah dan perusahaan, tetapi juga karyawan hotel.
Untuk itu, pihaknya perlu mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan sebelum mengambil keputusan.
"Isu ini kita akan sarankan Menko Polhukam bisa jadi integrator dari elemen-elemen terkait."
"Kita tahu ada faktor-faktor lain yang perlu kita ketahui dampaknya seperti apa, terutama bagi para pekerja yang ada di sana," jelasnya.
Sebelumnya, kuasa hukum PT Indobuildco, pemilik dan pengelola Hotel Sultan, menyatakan lahan tempat Hotel Sultan berdiri bukanlah BMN atau tanah yang dikuasai negara.
"Pernyataan bahwa lahan Hotel sultan sebagai Barang Milik Negara (BMN) adalah keliru dan tidak benar."
"Dalam SK Menkeu yang menjadi BMN adalah TANAH HPL No. 1/Gelora," kata Kuasa Hukum PT Indobuildco Amir Syamsuddin, Jumat (22/12/2023).
Pencantuman hak guna bangunan (HGB) pribadi di dalam BMN tersebut, lanjut Amir, dinyatakan tidak sah, dan tidak ada dasar bagi HPL yang diterbitkan pada 1989, untuk secara otomatis mencaplok HGB atas nama pihak lain. (*)