PINUSI.COM - Kementerian ESDM mengumumkan bagaimana perang Iran-Israel berdampak pada Indonesia.
Perang dapat memengaruhi kenaikan harga minyak global, yang dapat memengaruhi Amerika Serikat.
Menurut Tutuka Ariadji, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, perang diperkirakan akan menaikkan harga minyak dunia antara US$ 5 hingga 10 per barel.
Dengan harga saat ini sekitar US$ 90 per barel, perang dapat membuat harga minyak mendekati US$ 100 per barel.
"Risiko itu kalau menurut pendapat kami sekitar US$ 5-10 per barel."
"Kalau sekarang US$ 90-an, jadi kalau menurut kami untuk naik mendekati US$ 100 kayaknya bisa terjadi," katanya di Kementerian ESDM Jakarta, Selasa (16/4/2024).
Dia menyatakan, Indonesia mengimpor minyak mentah dan gas bumi.
Dia menyatakan, kenaikan harga minyak mentah dapat menyebabkan impor keduanya meningkat.
Dia mengaku telah meminta PT Pertamina (Persero) membuat simulasi akibat kenaikan harga minyak mentah.
"Kan kita impor crude sama impor BBM."
"Otomatis kalau impor crude pasti naik kan, BBM akhirnya naik juga."
"Kita impor BBM itu sebagian besar dari Singapura dan Malaysia."
"Itu yang sedang disimulasikan, kita minta Pertamina untuk mensimulasikan akibatnya apa," paparnya.
Tutuka menjelaskan, kenaikan harga minyak sebesar US$ 5-10 akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tetapi dia juga menyatakan peningkatan anggaran subsidi akan lebih besar.
"Sebetulnya memang kalau demikian PNBP-nya naik, tapi subsidinya lebih besar daripada itu."
"Subsidi LPG itu besar, kemudian solar itu yang besar, jadi lebih besar kenaikan untuk tambah subsidi daripada penerimaan PNBP yang harus diperhitungkan," jelasnya.
Namun, Tutuka menyatakan, pemerintah belum berencana menaikkan harga BBM untuk mengantisipasi beban subsidi.
Sebaliknya, dia menyatakan pemerintah akan membuat kebijakan secara bertahap.
Sebaliknya, pihaknya menyiapkan berbagai rencana untuk situasi terburuk.
"Belum, sampai saat ini belum. Kalau menurut saya lebih baik kita step by step dalam hal kebijakan."
"Dalam preparacy kemungkinan terburuk kita lakukan, tapi dalam kebijakan, keputusan kalau menurut saya jangan cepat-cepat, karena kalau saat ini kami memandang itu spike, kalau spike tidak perlu direspon segera," terangnya. (*)