PINUSI.COM - Karyono Wibowo, pengamat politik Indonesia Public Institute (IPI), menilai strategi politik presiden terpilih Prabowo Subianto yang berencana merangkul semua partai politik di kubu rival untuk masuk kabinet, berpotensi besar merugikan partai-partai yang sudah dari awal mendukung Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
Selain membuat rugi partai politik pengusung, strategi politik kompromi yang dijalankan Prabowo juga berdampak luas.
Salah satunya, hilangnya keseimbangan roda pemerintahan, karena lemahnya partai pengontrol yang berada di pihak oposisi.
Dalam posisi seperti itu, demokrasi di negara ini bisa dikatakan sudah tak sehat lagi, buntut praktik politik kompromi.
“Dampaknya tidak sekadar membuat partai koalisi pengusung paslon presiden terpilih merasa rugi."
"Tetapi lebih dari itu, menimbulkan proses check and balance tidak berjalan maksimal," kata Karyono kepada wartawan, Senin (29/4/2024).
Karyono menegaskan, di negara macam Indonesia, harus ada partai politik yang mengambil posisi sebagai oposisi.
Jika tidak, maka kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan terbuka lebar.
"Karenanya, perlu ada partai di luar pemerintahan yang berfungsi mengontrol jalannya pemerintahan, agar ada check and balance, meminimalisasi terjadinya penyimpangan kekuasaan (abuse of power)," tuturnya.
Prabowo Subianto berencana merangkul semua lawan-lawannya masuk ke dalam kabinet.
Hal ini bertujuan agar semua program yang sudah dicanangkan dapat tereksekusi dengan baik.
Dua parpol dari kubu rival yang dipastikan bergabung ke koalisi Prabowo-Gibran adalah NasDem dan PKB.
Kedua partai ini adalah pengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024.
Prabowo juga tengah mengatur jadwal untuk berjumpa PKS, yang juga merupakan partai pengusung Anies-Muhaimin.
Prabowo juga disebut-sebut tengah melirik PDIP dan PPP yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Prabowo dan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri juga disebut-sebut bakal bertemu dalam waktu dekat.
Menurut Karyono, sistem politik kompromi seperti yang dilakukan Prabowo saat ini adalah sesuatu yang lazim.
Para pemenang pilpres disebutnya kerap melakukan hal itu.
Tujuan dari strategi politik seperti ini adalah meminimalkan peluang terjadinya jalan buntu antara pemerintah dan legislatif, dalam mengompromikan sebuah program di parlemen.
"Persoalan kerap muncul ketika terjadi fragmentasi dan polarisasi yang tinggi, sehingga berdampak pada sikap politik di parlemen yang dapat mengganggu relasi lembaga eksekutif dengan legislatif."
"Atas dasar itulah, siapapun pemenang pilpres cenderung mengambil langkah politik kompromis, dengan merangkul lawan politik untuk menghindari deadlock," ulasnya. (*)