PINUSI.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP 25 2020 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pasal 55 PP tersebut mewajibkan setiap pekerja menjadi peserta.
Menanggapi hal tersebut, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program perumahan untuk rakyat.
Hal ini karena kebutuhan perumahan untuk kelas pekerja dan rakyat adalah kebutuhan primer, seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, papan).
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, di dalam UUD 1945, negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan rakyat.
Dalam 13 Platform Partai Buruh, jaminan perumahan adalah jaminan sosial, dan Tapera adalah kepastian untuk mendapatkan upah yang layak melalui dana APBN dan APBD.
“Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah, dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera."
"Karena membebani buruh dan rakyat,” kata Said Iqbal melalui keterangan tertulis, Rabu (29/5/2024).
Menurut Said Iqbal, setidaknya ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.
Pertama, belum ada kejelasan terkait program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera.
"Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera."
"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tuturnya.
Ia menjelaskan, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan.
Bila dipotong 3% per bulan, maka iurannya sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1.260.000 per tahun.
Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?"
"Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah."
“Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah."
"Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” ulasnya.
Said Iqbal menuturkan, dalam lima tahun terakhir, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30%.
Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut, dan tahun ini naik upahnya murah sekali.
Bila dipotong lagi 3% untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat.
“Dalam UUD 1945, tanggung jawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah."
"Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh," ucapnya.
Said Iqbal menambahkan, Tapera adalah hal yang tidak adil, karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat.
Program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang, sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan
Said Iqbal mengingatkan, Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat.
Jangan sampai Tapera menjadi korupsi baru yang merajalela, sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN.
Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan. (*)