PINUSI.COM - Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Konfederasi SARBUMUSI) mengecam program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diinisiasi Presiden Joko Widodo.
Program ini dinilai dapat semakin menjauhkan mimpi buruh untuk memiliki rumah.
Sebab, beban pengeluaran buruh yang besar dan tidak sebanding dengan kenaikan upah tahunan, akan semakin bertambah berat dengan iuran program Tapera.
Beberapa hari lalu, pemerintah mengeluarkan PP 21/2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
PP ini mengatur agar pekerja membayar iuran untuk perumahan, dengan ketentuan iuran sebesar 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja, dan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja.
Sedangkan iuran untuk pekerja mandiri sebesar 3 persen dan ditanggung sendiri.
Presiden Konfederasi SARBUMUSI Irham Ali Saifuddin, melihat adanya perhatian dari pemerintah terhadap masyarakat berpenghasilan rendah seperti buruh untuk memiliki hunian, tetapi langkah yang diambil tidak tepat, dan justru akan berpotensi semakin membebani buruh.
“Program Tapera ini baik dari sisi normatif, tetapi membebani buruh dalam praktik pelaksanaannya nanti."
"Kenaikan upah minimum tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak buruh saat ini.”
“Selain itu, kebutuhan buruh akan rumah adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan untuk 20 atau 30 tahun mendatang ketika iuran Tapera mereka bisa diambil,” ucapnya lewat keterangan tertulis, Jumat (31/5/2024).
Irham juga menjelaskan, PP 21/2024 juga belum mengatur penghitungan nominal yang akan didapatkan buruh nantinya.
“PP baru tentang Tapera ini tidak menjelaskan entitlements apa saja yang akan didapatkan buruh nantinya."
"Apakah hanya akumulasi 3 persen dari kontribusi buruh dan pemberi kerja, atau ada penyertaan dan dari pemerintah dan atau dana tambahan dari pengelolaan BP Tapera."
"Hal ini tentu dapat berpotensi adanya misconduct dalam pelaksanaan program ini,” ucapnya.
Penghitungan yang ada di peraturan pemerintah ini juga dinilai tidak jelas dasar penghitungannya.
Secara nominal tidak dijelaskan secara rinci rumah seperti apa yang akan didapatkan pekerja nantinya.
Skema menyediakan rumah melalui skenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi, jauh lebih baik dan masuk akal, karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja.
Konfederasi SARBUMUSI memberikan saran kepada pemerintah untuk program pemenuhan kebutuhan hunian untuk buruh melalui dua strategi.
Pertama, optimalisasi fungsi BPJS Ketenagakerjaan melalui program manfaat layanan tambahan (MLT), yang di dalamnya mencakup rumah buruh serta perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang inklusif, termasuk bagi buruh informal.
Kedua, melalui penguatan program perumahan rakyat oleh negara melalui skema pembiayaan khusus atau skema khusus untuk buruh dengan penghasilan rendah.
Hal ini lebih visible dibanding mengumpulkan dana dari buruh di depan, dan baru akan diambil setelah sekian tahun.
"Ini belum lagi mempertimbangkan kenaikan lahan dan bahan bangunan dalam 10-30 tahun mendatang, sehingga bisa jadi dana yang diatur buruh melalui Tapera tidak akan ada nilainya,” beber Irham.
Bila Pemerintah nekat memberlakukan PP Tapera ini, Konfederasi SARBUMUSI juga mengingatkan adanya risiko instabilitas ekonomi di masa depan, dan adanya public distrust terhadap pengelolaan dana publik.
“Kondisi ekonomi global saat ini penuh ketidakpastian dan fragile."
"Globalisasi, perubahan iklim, postur demografi dan situasi geopolitik serta keamanan global, akan membuat dana yang diiur buruh ini akan berada dalam situasi ketidakpastian dan rentan."
"Belum lagi, masyarakat masih trauma terhadap isu korupsi dan hilangnya dana publik yang dikelola oleh beberapa lembaga publik seperti ASABRI beberapa tahun lalu,” tambah Irham.
Disebutkan dalam PP, Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya, setelah kepesertaan berakhir.
Jika jangka waktu minimal iuran yang diberlakukan selama 20 tahun, maka kepemilkan rumah oleh pekerja akan sangat sulit direalisasikan, mengingat adanya risiko inflasi dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
Terakhir, Irham juga menyayangkan tidak adanya transparansi proses pembuatan aturan PP Tapera ini.
“Sarbumusi selalu mengingatkan pemerintah mengenai pentingnya dialog sosial dan konsultasi tripartit yang intens, transparan dan konstruktif, dalam setiap proses pembuatan regulasi ketenagakerjaan."
"Jangan di-bypass terus seperti ini. Belum lagi di BP Tapera sama sekali tidak ada unsur buruh."
":Tentu tidak akan pernah benar-benar memahami situasi buruh dan apa yang diinginkan buruh."
"Kebutuhan buruh akan hunian adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan yang bisa ditunda 20-30 tahun lagi."
"Mimpi buruh punya rumah jangan semakin dikubur!,” papar Irham. (*)