PINUSI.COM - Jika harga minyak dunia tembus US$ 100 per barel, pemerintah disarankan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, karena konflik Iran-Israel akan menyebabkan kenaikan harga BBM di dalam negeri.
"Kalau harga minyak dunia masih di bawah US $100 per barrel, harga BBM Subsidi tidak perlu dinaikkan."
"Namun, kalau harga minyak dunia mencapai di atas US $100 per barrel, harga BBM Subsidi sebaiknya dinaikkan," kata Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), lewat keterangan tertulis, Rabu (17/4/2024).
Menurut Fahmy, konflik yang terjadi di sekitar Selat Hormuz akan mengganggu jalur rantai pasokan minyak global, yang akan menghambat pasokan dan menaikkan biaya distribusi, sehingga harga minyak dunia berpotensi naik.
"Apalagi, sebelum pecah konflik, harga minyak dunia sudah naik pada kisaran US $89 per barrel, potensi kenaikan harga minyak dunia akan berlanjut saat eskalasi ketegangan Iran-Israel meluas," ulasnya.
Ia kemudian menjelaskan, karena Indonesia adalah negara pengimpor, kenaikan harga minyak dunia pasti akan menaikkan harga BBM, bahkan di atas asumsi APBN 2024 yang ditetapkan sebesar US $ 82 per barrel.
Fahmy berpendapat, kenaikan harga minyak global tidak dapat dihindari jika konflik Iran-Israel semakin meluas. Bahkan, kenaikan mungkin di atas US $ 100 per barrel.
Dalam situasi ini, ia berpendapat pemerintah menghadapi masalah dalam menentukan harga BBM di dalam negeri.
Jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban APBN akan meningkat, dan kenaikan harga minyak dunia tentu akan mengurangi jumlah devisa yang diperlukan untuk membiayai impor BBM.
"Ujung-ujungnya makin memperlemah kurs rupiah terhadap dolar AS, yang sudah sempat menembus Rp16.000 per dollar AS."
"Kalau harga BBM subsidi dinaikkan, sudah pasti akan memicu inflasi yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, sehingga menurunkan daya beli rakyat," lanjutnya.
Fahmy menyarankan pemerintah tidak memberi harapan palsu dengan menjamin harga BBM subsidi tidak akan naik sampai Juni 2024, mengingat harga minyak dunia saat ini sangat tidak pasti karena konflik tersebut.
Dia berpendapat,pemerintah harus membuat keputusan tentang realisasi menggunakan pengukuran, seperti harga minyak dunia.
Namun, pemerintah dapat menawarkan alternatif melalui bantuan kepada masyarakat yang terdampak, terutama mereka yang miskin.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), juga menyatakan pendapat yang sama.
Ia berpendapat, jika harga minyak global menembus angka US$ 100, harga BBM bersubsidi akan berubah.
Ini disebabkan fakta pemerintah harus memastikan APBN tidak membengkak, karena akan ada banyak program lain yang akan dilaksanakan, terutama oleh pemerintahan mendatang.
"Ketika harga minyak di atas US$ 100 per barel seperti yang terjadi pada 2022, kemungkinan besar akan diikuti penyesuaian harga minyak bersubsidi seperti Pertalite dan Solar, untuk mencegah pembengkakan APBN yang sudah membengkak sekarang."
"(apalagi) setelah ada program-program baru yang dijanjikan dan dijalankan oleh pemerintahan yang baru," tuturnya. (*)