PINUSI.COM - Draf revisi Undang-undang (UU) Penyiaran menjadi sorotan.
Sebab, beberapa pasal dinilai dapat menghambat serta membungkam kebebasan pers.
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengatakan, dengan adanya pasal di dalam revisi UU Penyiaran yang mengatur larangan media menayangkan konten atau eksklusif jurnalisme investigasi, dapat menggerus demokrasi
“Kita berbicara dalam hal investigasi ya, karena investigasi itu kan, kalau dilarang sama dengan berangus demokrasi,” kata TB Hasanuddin.
Sementara, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Dave Laksono membantah pihaknya ingin memberangus kebebasan pers melalui UU Penyiaran.
“Justru media harus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran, dan tidak ada penyelewengan sedikit pun yang menjadi hak milik rakyat dan juga bangsa,” ujar Dave.
Berikut ini beberapa pasal revisi UU Penyiaran yang dianggap membungkam empat pilar demokrasi:
Pasal 50 B ayat 2 butir C berbunyi melarang media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi.
Sedangkan pasal ini kontradiktif dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun tentang Pers (Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran).
Pasal 8A ayat (1) huruf (q) revisi UU Penyiaran berbunyi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Tidak tertulis jelas sengketa jurnalistik yang dimaksud, namun pada Bab IIIB tentang Penyelenggaraan Platfomr Digital Penyiaran tertulis mengenai sengketa pada bagian keenam pada Pasal 34 I.
Ayat (1) berbunyi KPI dapat melakukan mediasi terkait sengketa yang terjadi pada penyelenggara platform digital penyiaran atau platform teknologi penyiaran.
Ayat (2) berbunyi jika mediasi gagl, maka dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai perundang-undangan.
Ayat ini pun dianggap gagal dan memotong hak Dewan Pers, karena untuk beberapa regulasi yang biasa dilakukan Dewan Pers, semua diurus oleh KPI. (*)