PINUSI.COM - Jamiluddin Ritonga, pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, menilai presiden terpilih Prabowo Subianto tak ingin diusik partai politik di parlemen Senayan.
Karena itu, dia mati-matian menggandeng partai politik yang menjadi rivalnya di Pilpres 2024, untuk masuk dalam koalisi pemerintahan.
Dengan menggandeng semua rival politik, kata Jamiluddin, maka semua agenda kerja pemerintah bakal berjalan nyaris mulus tanpa hambatan.
Lantaran, semua penghuni parlemen sepakat, mustahil ada parpol koalisi yang mau merintanginya.
“Ia setidaknya ingin agar parpol yang di parlemen tidak ada yang mengganggu,” ulas Jamiluddin kepada wartawan, Rabu (14/5/2025).
Prabowo berhasil memboyong dua parpol rival ke dalam koalisinya, yakni NasDem dan PKB, yang pada Pilpres 2024 bersama PKS, mengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Sedangkan untuk kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Prabowo masih berupaya melakukan pendekatan.
Komunikasi dengan PDIP masih alot, namun PPP yang merupakan rekan sekoalisi PDIP, sudah beberapa kali memberi kode segera bergabung bersama koalisi Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
"Kekuatan mayoritas itu memang keinginan Prabowo,” ucap Jamiluddin.
Menurut Jamiluddin, setelah NasDem dan PKB bergabung, postur koalisi Indonesia Maju (KIM) sudah menjadi mayoritas di parlemen.
Bahkan, gabungan kursi PDIP dan PKS yang saat ini masih bersikap abu-abu, tak bisa mengimbangi kekuatan parpol koalisi pemerintah.
Dengan kekuatan politik yang sekarang ini, lanjut Jamiluddin, pemerintahan Prabowo-Gibran sudah sangat sukar diganggu oposisi.
“Bila Nasdem dan PKB bergabung, tentu Koalisi Indonesia Maju (KIM) akan menjadi mayoritas di parlemen,” ujarnya.
Dominasi kekuatan koalisi di parlemen, kata Jamiluddin, jelas membawa berbagai dampak, salah satunya adalah sukar mengontrol pemerintahan.
Pemerintahan yang tak bisa dikontrol dapat menyalahgunakan kekuasaannya.
"Meskipun ada kekhawatiran, bila partai pendukung pemerintah terlalu dominan, dapat melemahkan DPR RI."
"Hal itu sudah terlihat di era Jokowi."
"DPR RI sudah seperti lembaga stempel eksekutif saja,” bebernya.
Terpisah, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) berharap PDIP dan PKS konsisten pada niat awal menjadi oposisi di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Kedua partai politik ini diharapkan tak goyang karena bujuk rayu kekuasaan.
Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, dengan adanya oposisi, maka pemerintahan Prabowo-Gibran bisa berjalan seimbang, apalagi oposisi itu diisi partai sekaliber PDIP.
"Tugas kita sekarang mendorong agar PDIP tidak terbujuk oleh rayuan kekuasaan, sehingga ada jaminan bagi kita, ada check and balances yang cukup berpengaruh di lima tahun mendatang," ucap Lucius.
Lucius mengakui kekuatan PDIP dan PKS memang tak seimbang, dengan kekuatan gabungan partai koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun, kata dia, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak beroposisi.
Kedua partai politik ini, lanjut Lucius, sama-sama berpengalaman menjadi oposisi.
Jadi, menurutnya, PDIP dan PKS seharusnya bisa menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk mendukung posisi mereka.
PDIP pernah sukses besar menerapkan cara ini, ketika 10 tahun beroposisi di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kalau dia bisa menggabungkan kekuatannya dengan kekuatan masyarakat sipil, kekuatan publik, itu dengan mudah DPR bisa dipaksa untuk mengikuti aspirasi publik,” bebernya. (*)