PINUSI.COM - Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mengkritik keras kebijakan pemerintah berupa Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurutnya, kebijakan pemotongan upah para pekerja yang dilakukan secara otomatis oleh pemerintah, dengan iming-iming rumah buat buat para pekerja di hari tua, adalah kebijakan yang sama sekali tak membawa untung bagi para pekerja.
Alih-alih untung, katanya, para pekerja justru boncos karena kebijakan ugal-ugalan tersebut.
“Tentu potongan tersebut sangat memberatkan," kata Bhima kepada wartawan.
Bhima mengatakan, potongan Tapera itu jelas bikin boncos, lantaran peraturan itu rencananya diterapkan di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang masih carut-marut.
Salah satu skema potongan tapera adalah 2,5 persen bagi para pekerja, yang diupah di atas Upah Minimum Regional (UMR).
Bhima melanjutkan, potongan iuran Tapera dapat berimbas ke berbagai hal.
Salah satu dampak paling mengerikan, kata dia, adalah pengurangan tenaga kerja di berbagai sektor.
Jadi, menurutnya sangat masuk akal jika kebijakan ini ditentang habis-habisan oleh kelompok pekerja asosiasi driver ojek online.
"Hal ini menunjukkan kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan," ulasnya.
Efek buruk lainnya buntut dari kebijakan ini, lanjut Bhima, adalah anjloknya Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun.
Dengan demikian, dia menyimpulkan kebijakan ini benar-benar bikin boncos para pekerja, sementara yang meraup untung adalah negara.
"Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain," paparnya. (*)