Pinusi.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggaransi guncangan pasar utang dunia tak begitu berpengaruh ke Indonesia.
Srimul, sapaannya, juga menyoroti perbedaan guncangan pasar utang pemerintah Indonesia saat krisis keuangan 2008 dan saat ini.
"ahun 2008 Indonesia harus menanggung suku bunga yang sangat tinggi. Bahkan mencapai 20% untuk obligasi dengan jangka waktu 10 tahun. "Dan suku bunga tahunan mencapai 19%," jelasnya dalam rapat kerja dengan pemerintah, BI, BPS dan OJK dengan Komisi XI, DPR RI, Kamis (6/6).
Situasi ini menunjukkan betapa sulitnya kondisi pasar keuangan saat itu. “Saat itu kita harus menanggung suku bunga 10 tahun 20%, (suku bunga) 1 tahun pun di 19%. Waktu itu market kita belum dalam,” kata Sri Mulyani dalam presentasinya di DPR RI.
Sri Mulyani juga mencatat saat itu pasar surat utang pemerintah Indonesia belum begitu matang. Pemegang ritel surat utang RI hampir 40% adalah investor asing.
“Mereka (asing) khawatir dia langsung dump, harga jatuh, yield naik,” ujarnya.
Namun, situasinya berbeda pada 2023-2024 ketika Federal Reserve (the Fed) menaikkan suku bunga sebanyak 500 basis poin (bps).
Sri Mulyani mencatat bahwa posisi Surat Berharga Negara (SBN) masih relatif stabil. Ini terbukti dengan yield SBN 10 tahun yang pada akhir 2023 adalah sebesar 6,60% dan meningkat sedikit menjadi 6,92% pada 5 Juni 2024.
Sri Mulyani menganggap pencapaian ini sebagai sesuatu yang perlu dijaga. Meski terjadi kenaikan suku bunga yang signifikan oleh the Fed, pasar surat utang Indonesia tetap relatif stabil. Menunjukkan kematangan dan ketahanan pasar keuangan Indonesia dalam menghadapi tantangan eksternal.
“Ini adalah achievement yang harus dijaga. Saya terima kasih komisi XI DPR, Banggar ini yang ikut jagain agar APBN dan fiskal kita baik,” pungkasnya.