PINUSI.COM - Komisi I DPR buka suara, setelah draf revisi Undang-undang Penyiaran ramai dikritik publik.
Draf revisi UU Penyiaran menjadi polemik, lantaran disinyalir bakal mengekang kebebasan pers lewat pasal larangan jurnalisme investigasi.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, draf revisi UU Penyiaran sama sekali bukan untuk mempersempit ruang gerak pers.
Dia bilang, pihaknya sama sekali tak ada niatan mengecilkan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Justru, katanya, revisi Undang-undang Penyiaran, kata dia, diharapkan dapat melindungi pers serta menunjang kerja insan media.
"Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers," kata Meutya kepada wartawan, Jumat (17/5/2024).
Meutya menegaskan, peran pers sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi di negara ini.
Untuk itu, katanya, peran media mesti diperkuat.
Dia menyebut selama ini pers adalah mitra kerja Komisi I dan DPR.
Dia tak yakin kebebasan pers dikebiri lewat revisi UU Penyiaran.
"Hubungan dengan pers selama ini dengan mitra Komisi I DPR yaitu Dewan Pers sejak Prof. Bagir, Prof Nuh, dan Almarhum Prof Azyumardi, adalah hubungan yang sinergis dan saling melengkapi, termasuk dalam lahirnya publisher rights," bebernya.
Meutya meminta masyarakat bersabar, sebab draf RUU itu, kata dia, belum sempurna, masih ada kemungkinan meralat pasal-pasal yang dianggap memberangus kebebasan pers.
Dia mengatakan, draf RUU memang cenderung multitafsir, lagipula hal ini juga belum dibahas bareng pemerintah.
Jadi, menurutnya peluang untuk mengubah pasal-pasal kontroversial itu masih terbuka lebar, sebelum RUU itu diundang-undangkan.
"Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna," imbuhnya.
Meutya melanjutkan, pihaknya tetap membuka peluang diskusi, serta menerima semua kritikan dari masyarakat.
Hal ini kata dia, bakal jadi bahan evaluasi untuk menyempurnakan RUU baru ini.
"Rapat internal Komisi I DPR pada tanggal 15 Mei 2024 kemarin telah menyepakati agar Panja Penyiaran Komisi I DPR mempelajari kembali masukan-masukan dari masyarakat," bebernya.
Revisi UU Penyiaran ramai dikritik publik, setelah sejumlah pasal dalam draf RUU tersebut diketahui melarang kerja-kerja jurnalisme, sebagaimana yang termaktub dalam pasal 50B ayat 2 huruf (c), yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Selain itu, pada pasal 8A Ayat 1 huruf (q) dan pasal 42 RUU penyiaran, memberikan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. (*)