PINUS.COM, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan harga listrik yang dihasilkan dari energi surya saat ini menunjukan tren semakin murah.
Bahkan harganya mampu bersaing dengan listrik yang dihasilkan dari energi fosil batu bara yang dikeluarkan melalui pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Tren harga listrik dari energi fosil ke depan diprediksi akan semakin menurun.
"Jadi menurut saya mitos kalau bicara harga energi baru terbarukan (EBT) masih mahal," ujar Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra Sisdwinugraha kepada Pinusi.com di Jakarta, dikutip Jumat (7/6).
Tren semakin murahnya harga listrik yang dihasilkan dari energi surya tersebut disebabkan karena kemajuan teknologi dan harga modul surya yang semakin murah.
Dari faktor global, kata Alvin, juga dipicu dari kebijakan China yang melakukan produksi modul surya secara massal.
"Dulu itu harganya EBT tidak bersaing ya. Sekarang mulai semakin bersaing dengan energi fosil," terangnya.
Alvin membandingkan harga jual listrik yang dihasilkan PLTU Cirata ke PLN saat ini menyentuh Rp900 per kWh. Harga tersebut menurutnya kompetitif dengan harga serupa dari harga jual listrik yang dihasilkan PLTU batu bara.
Meski begitu, harga kompetitif antara harga listrik dari PLTS dan PLTU menurutnya masih kurang adil. Sebab, sampai saat ini kebutuhan batu bara untuk PLTU masih mendapatkan subsidi.
Kebijakan subsidi tersebut tertung dalam domestic market obligation (DMO). Dengan begitu, harga beli batu bara untuk PLTU menjadi sebesar US$ 70 per ton.
"Kalau tidak disubsidi harga listrik dari PLTU batu bara di pasaran bisa mencapai Rp1.500 per kWh," pungkasnya.