PINUSI.COM, JAKARTA - YLBHI menilai izin tambang ke ormas keagamaan merupakan siasat pemerintah. Upaya penundukkan organisasi sipil dan memperburuk situasi pelanggaran HAM.
Mereka menilai terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 yang dibahas secara tertutup dan terburu-buru kembali memperburuk proses legislasi di Indonesia.
"Apalagi PP ini sarat dengan kepentingan politik dan merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang terbukti melanggar konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi," jelas Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, Jumat (7/6).
Kata dia, tentu saja hal ini membahayakan demokrasi karena mengabaikan partisipasi bermakna (meaningfull participation) dari rakyat selaku subjek utama pengelolaan sumber daya alam (SDA).
YLBHI juga melihat aturan legalisasi tambang bagi ormas keagamaan ini adalah jebakan dan upaya kooptasi atau pembungkaman yang dilakukan pemerintah dan oligarki.
Pada konteks ini, kooptasi pembungkaman dilakukan sebagai upaya melanggengkan kekuasaan dengan menimbang unsur-unsur yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
"Kami juga memandang ini adalah agenda pemecahbelahan masyarakat sipil di tengah semakin otoritariannya pemerintah," jelas dia.
Kian nyata, kata dia, kebijakan ini menunjukkan bahwa di akhir pemerintahannya, Jokowi berupaya menghidupkan neo-otoritarianisme.
PP 25/2024, sambungnya, tak ubahnya modus praktik represif untuk menyusutkan ruang sipil atas kritik pembangunan melalui pendekatan kooptasi dan adu domba warga.
"Ini adalah bentuk politisasi keagamaan, ormas keagamaan akan berhadapan visi a vis dengan masyarakat, dan ormas jadi instrumen negara untuk melakukan represi terhadap rakyat."
Dalam konteks hak asasi manusia juga negara ada dalam hak penghormatan dan perlindungan saja. Negara harusnya pasif bukannya aktif dengan memenuhi [urusan ormas], karena dalam konteks negara memberikan atau memenuhi [keperluan ormas] akan berpotensi terjadinya diskriminasi.
Berdasarkan catatan LBH-YLBHI, hampir semua wilayah pertambangan berlumuran konflik, perusakan lingkungan, dan perampasan ruang hidup masyarakat.
Selama ini praktik pertambangan tak pernah berpihak pada rakyat dan lingkungan. Bahkan kegiatan sektor pertambangan sebagai penyebab konflik SDA karena karakternya yang merusak alam dan merampas sumber-sumber penghidupan warga.
Sebagaimana yang terjadi dalam pertambangan di Wadas, batu bara di Pulau Kalimantan dan Nikel di Pulau Sulawesi dan Maluku telah menyebabkan pencemaran air laut, air tanah, dan udara yang menimbulkan hak-hak kesehatan dan berkurangnya sumber pangan warga setempat.
Dalam proses perizinan, perusahaan tambang kerap menggunakan cara kotor dan tanpa ada persetujuan masyarakat. Jikapun narasinya ormas keagamaan akan bekerja sama dengan perusahaan. Maka permasalahannya adalah selama ini tidak ada perusahaan tambang yang mengedepankan pemenuhan HAM dan prinsip demokrasi. Sehingga ormas juga akan menjadi bagian dari pelanggaran HAM.
Perlu juga dilihat bahwa sampai saat ini, setidaknya terdapat puluhan ribu titik lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa ada proses rehabilitasi. Lubang-lubang ini juga telah memakan korban dari tahun ke tahun. Jatam Kaltim mencatat 49 orang tewas akibat lubang tambang.
Dengan adanya obral izin tambang kepada Ormas maka justru akan memperpanjang kasus tambang serupa dan kembali lagi korbannya adalah masyarakat terdampak secara langsung. "Hal ini akan menjadi tumpukan kasus sosial-ekologis berkepanjangan," jelasnya.
Pemberian penawaran khusus kepada organisasi keagamaan juga syarat akan kepentingan legasi kepemimpinan Jokowi. Termasuk upaya penundukan terhadap organisasi kemasyarakatan yang seharusnya menjadi kawan kritis kebijakan negara.
"Dengan adanya jalan khusus pemberian WIUPK ini, maka sudah barang tentu penjaga kedaulatan rakyat dan sebagai perwujudan negara demokrasi kian melemah," jelasnya.
Kasus-kasus penolakan pertambangan yang dilakukan oleh rakyat juga tidak sedikit dan berakhir kepada pelemahan gerakan baik yang dilakukan oleh pemilik usaha maupun aparat keamanan.
"Dengan adanya konsesi kepada ormas, tentu akan semakin memperpanjang konflik-konflik sosial yang sayangnya itu dapat terjadi antar masyarakat," jelasnya.
Maka, YLBHI dan LBH se-Indonesia sepakat mengeluarkan tiga poin desakan.
Pertama, mendesak Pemerintahan Jokowi untuk menghentikan praktik buruk legislasi (fast track legislation) yang merusak tatanan hukum, demokrasi dan melanggar konstitusi.
Kedua, mendesak Pemerintahan Jokowi untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dan ketiga mengingatkan kepada Ormas Keagamaan agar tidak terlibat sebagai bagian dari pelanggar HAM di wilayah pertambangan.